- Terdakwa Sebut Potongan Dana BOK untuk Kirim Bunga saat Ultah Pemda
- Tim Satgas Berhasil Padamkan Karhutla di Tebo Jambi
- Kecamatan Sukarami Tertinggi Kasus ISPA di Kota Palembang
- Hujan Efektifkan Pengendalian Karhutla dan Kualitas Udara di Kalbar
- Presiden Jokowi Pastikan Buka Kongres XXV PWI di Bandung, Diikuti PWI 39 Provinsi
Urbanisasi Perlu Diantisipasi, Diaspora Palembang Patut Diapresiasi

Enam isu perkotaan bakal dibahas saat Forum Urban (U-20) pada pertemuan negara-negara anggota G20. Keenam isu tersebut, pertama, aktivitas masyarakat yang dilakukan dari rumah. Karena itu, rumah sebaiknya nyaman untuk tempat kerja dan mendukung produktivitas. Kedua, pembatasan aktivitas selama pandemi berimbas kurangnya interaksi sosial, pelecehan online, hingga gangguan jiwa. Ketiga, meningkatnya jumlah anak yatim piatu akibat pandemi menjadi masalah sosial. Keempat, pengangguran secara global meningkat akibat perusahaan mengurangi jumlah karyawan. Kelima, nasib kantor dan industri properti ke depan dalam menjawab tantangan perkotaan. Terakhir, pertimbangan mobilitas antara tata kota dan kesehatan, dalam transformasi model baru yang berkelanjutan. Terkait itu, setiap pemerintah daerah diharapkan dapat mengantisipasi persoalan urbanisasi dan diaspora sebagai dampak pelonggaran mudik lebaran pascapandemi. Bagaimana upaya pemerintah kota dan masyarakat Palembang, Sumatera Selatan pada umumnya menyikapi itu? Berikut laporan SimburSumatera.com selengkapnya.
PALEMBANG, SIMBUR – Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Palembang tetap memantau gelombang urbanisasi (perpindahan masyarakat dari desa ke kota) setelah pemerintah melonggarkan kembali kebijakan mudik Lebaran pascapandemi. Hal itu diungkap Kepala Disnaker Kota Palembang, Drs HM Yanurpan Yany SSos MM.
Menurut Yanurpan, di Kota Palembang selama ini mudik tidak terlalu berdampak terhadap potensi urbanisasi. Berbeda dengan kondisi di Pulau Jawa. Biasanya, kata dia, saat orang pulang kampung (mudik) Lebaran kemudian kembali lagi ke kota sambil membawa keluarga atau warga desa lainnya, melakukan urbanisasi dari desa ke kota.
“Tetap kami pantau (urbanisasi). Tapi tidak (Disnaker Kota) sendirian. Kami juga koordinasi dengan OPD (organisasi perangkat daerah) dan leading sector terkait. Terutama dalam meningkatkan produktivitas,” ungkap Kadisnaker Yanurpan kepada Simbur, Senin (18/4).
Selama pandemi, lanjut Yanurpan, pengangguran Palembang juga tidak sedikit. “Kami juga sedang sedang mengantisipasi tingkat pengangguran di kota ini. Itu tadi, perlu koordinasi lintas sektoral sesuai program OPD masing-masing,” terangnya.
Terkait diaspora, Yanurpan menegaskan bahwa tidak banyak yang mudik atau pulang ke Palembang saat lebaran. “Mereka (diaspora Palembang) kan ada kontrak kerja berapa lama kerja di luar negeri. Kalau pulang kampung atau mudik Lebaran, mungkin tidak lama. Sebab, pulang kampung cost-nya teralu besar,” jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, sosiolog asal Sumsel, Dr Saudi Berlian mengemukakan, jika dilihat dari kebiasaan (tradisi) urbanisasi bisa saja terjadi dan sulit diantisipasi. Padahal, di desa orang tidak merasa takut pandemi dan produktivitas tetap berjalan seperti biasa.
“Di beberapa sektor, misalnya pertanian, lapangan kerja tetap seperti adanya. Kalau melihat rasionalitas, urbanisasi tidak terlalu melonjak. Kalau melihat tradisi, memang iya. Sekarang mana yang berlaku,” ungkap Saudi.
Dijelaskannya, jumlah pekerjaan di kota tidak menjanjikan lagi setelah pandemi. “Apalagi banyak yang sudah migrasi ke virtual. Jadi, sedikit sekali yang membutuhkan tenaga kerja (di kota),” paparnya.
Masih kata Saudi, intinya pekerjaan di desa tidak terganggu. Sebaliknya, justru lapangan pekerjaan di kota sangat terganggu. “Masyarakat desa tahu tidak kondisi tersebut jika ingin berduyun-duyun datang ke kota. Pemerintah perlu mengimbau agar masyarakat desa tetap bekerja di desa, tidak harus (mencuci nasib) ke kota,” sarannya.
Demikian sebaliknya, kata Saudi, kriminalitas justru berpotensi muncul dari arus balik kaum urban. “Di kota orang sedang mengalami krisis ekonomi. Mau nyopet tidak banyak peluang lagi. Makanya, mereka (pelaku kejahatan) kembali ke desa. Akibat sentra ekonomi di kota banyak yang tutup, makanya mereka beroperasi di desa,” selorohnya.
Ditanya soal diaspora, Saudi menjelaskan, mereka pulang saat libur tidak masalah, Akan tetapi, apabila kaum diaspora itu pulang kampung dan menetap kembali, itu baru menjadi masalah. Diterangkannya pula, sekarang masyarakat sudah hijrah ke virtual kecuali tempat atau daerah yang tidak ada sinyal.
Saudi menambahkan, orang yang menyebar ke mana-mana kadang tidak update. Walaupun berada di luar, kadang seperti di dalam. Kalau dulu problem, muncul masalah diaspora Palembang antara macrocosmos (orang yang tinggal di luar daerah asalnya) yang tidak terhubung secara langsung dengan microcosmos (orang yang tinggal di dalam daerah asalnya). Berbeda dengan diaspora Minang dan Bugis. Mereka merantau termasuk kelompok makro, tapi juga punya link dan kontribusi ke dalam (daerah asalnya).
“(Diaspora Palembang) Yang hebat di luar sana, setelah pulang kampung, kadang tidak dianggap apa-apa. Orang di kampungnya pun tidak juga menganggap dia hebat,” ujarnya.
Akan halnya, Yan Sulistyo, konsultan dan pakar ekonomi Sumsel mengatakan, sebenarnya dengan adanya pergerakan manusia saat hari raya dari desa ke kota (urbanisasi) karena kegagalan pemerintah daerah setempat. “Terutama dalam memberikan keadilan ekonomi. Itu karena daya tarik daerah tersebut tidak menarik bagi masyarakat desa sehingga mereka pergi ke kota,” jelasnya.
Menurut Yan, kebanyakan juga para pekerja di desa bukan asli daerah tersebut tapi dari kota sehingga terjadilah urbanisasi. “Dampaknya dari sisi ekonomi yang paling diuntungkan adalah kota besar seperti Palembang. Karena masyarakat desa akan menghabiskan banyak uang di kota. Bukan hanya tejadi di hari raya tapi juga terjadi saat libur panjang,” ungkapnya.
Masih kata Yan, banyak masyarakat kota yang datang ke desa tapi harus siap dari sisi pariwisatanya. Orang kota yang tidak sanggup ke luar pulau atau ke luar negeri akan lari ke desa. Daerah yang desanya tidak mempunyai destinasi menarik akan mengalami kerugian dan terjadi urbanisasi.
“Kondisi tersebut berdampak negatif juga bagi kota. Orang kota banyak menerima orang desa yang tidak siap dengan skill atau keahlian kerja. Ini menjadi masalah besar bagi sistem sosial masyarakat kota. Lantas, siapa yang paling bertanggung jawab? Ya kepala daerah masing-masing. Mereka harus mempersiapkan SDM dan potensi pariwisata. Perlu kerja sama antara kepala daerah, DPRD, peran serta masyarakat dan lembaga pendidikan di daerah,” sarannya.
Penyebab urbanisasi lainnya, tambah dia, masyarakat desa tidak bisa melakukan aktivitas ekonomi yang banyak karena keterbatasan infrastruktur ekonomi yang ada. Daerah yang cukup siap untuk menghadapi orang desa yang punya duit pun sangat sedikit. Jangankan nonton bioskop mal saja tidak punya. “Makanya banyak orang desa menghabiskan uangnya ke kota. Pemerintah daerah setempat mengatasi hal tersebut sehingga warga desa tidak pergi ke kota,” imbuhnya.
Yan berharap, migrasi kota ke desa atau sebaliknya harus disertai skill. Disarankan, seharusnya tenaga ahli di kota diserap pemerintah daerah sebagai ASN. “Harus ada keseimbangan SDM dari kota ke desa. Peran SDM daerah harus didukung skill yang mumpuni,” terangnya.
Selama masa pandemi, ungkap Yan, kalau orang kota dalam kondisi keterbatasan, mereka akan mencari tempat untuk hilling. “Orang kota gampang sekali untuk jenuh. Kebanyakan orang kota itu workaholik (hobi kerja). Karena semasa pandemi workaholik mereka tidak tersalurkan, makanya hilling ke desa,” jelas Yan.
Dia menambahkan, selama pandemi, sektor yang paling cepat tumbuh adalah pariwisata. “Karena di tempat itulah orang menyalurkan fesyennya ke arah sana,” ungkapnya.
Ditegaskan Yan, diaspora Palembang di luar negeri tidak tertarik pulang ke kotanya. Lebaran mereka tidak pulang. Kalau pulang waktunya sangat pendek.
“Kaum dispora Palembang tidak tertarik pulang karena dari penawaran kerja saja sudah tidak menarik. Sistem perekrutan pemerintah daerah tidak mampu menyerap diaspora,” tuturnya.
Mengapa diaspora tidak mau pulang? kata Yan, karena di luar mereka lebih menjanjikan dan ada apresiasi orang luar yang punya prestasi bagus. “Perlu adanya perubahan sistem rekrutmen agar bisa mengakomodir orang-orang yang bertalenta,” sarannya.
Dia mencontohkan, bagaimana Singapura membangun negaranya. Mereka membangun talenta dari luar. Akan terjadi transfer knowledge. SDM mereka sudah siap dari orang luar yang mereka rekrut. Kelemahan pemerintah dari sisi skill, ini jarang terjadi di Indonesia, apalagi Palembang, Sumatera Selatan.
“Transfer knowledge, yakni proses transfer ilmu dari nothing jadi something. Harus merekrut tenaga ahli dari luar. Butuh mereka (diaspora) agar dapat mentransfer ilmu pengetahuan sehingga memiliki SDM siap. Demikian juga universitas, masih mengunakan sistem perekrutan yang usang. Tidak mau menggunakan tenaga pendidikan dari luar,” tegasnya.
Sementara itu, mengantisipasi lonjakan pandemi di tengah gelombang urbanisasi selama mudik dan arus balik Lebaran, Dinas Kesehatan Kota Palembang juga telah mendirikan 13 posko. Hal itu diungkap Yudhi Setiawan SKM Mepid, Plt Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Palembang.
“Dinkes bekerja sama dengan Dinas Perhubungan dan kepolisian dengan membuka 13 posko mudik dan arus balik lebaran,” ungkap Yudhi kepada Simbur.
Adapun 13 posko pengamanan kesehatan terletak di Terminal Km12, PTC Mall, Simpang DPRD, Poligon, Jembatan Musi 6, Nilakandi, dan Bundaran Air Mancur. Selanjutnya, Sriwalk, SPBU Gapo, Pintu I PT Pusri, Simpang Kayuagung Plaju, Jembatan Musi 4, dan Mitra 10 Jakabaring.(maz)