Tabir Istana Pasir

PALEMBANG, SIMBUR SUMATERA – Pembangunan infrastruktur tentu akan sangat erat hubungannya dengan kebutuhan bahan galian pasir atau tanah (Galian C). Sementara, saat ini Sumatera Selatan (Sumsel) sedang menjadi target pembangunan nasional mulai dari Light Rail Transit (LRT) sampai pembangunan jalan tol yang saat ini sebagian sudah selesai dikerjakan.

Masifnya pembangunan di Sumsel khususnya di Kota Palembang, secara tidak langsung akan menggairahkan bisnis pasir yang sebagian berada di daerah Gandus, Palembang. Namun, di sisi lain eksploitasi pasir secara berlebihan tentu akan berdampak pada kerusakan lingkungan di wilayah sekitar tambang.

Saat ditemui Simbur di ruangannya, Kepala Bidang (Kabid) Pengusahaan Menirba, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendriansyah memastikan bahwa untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi tambang pasir memiliki prosedur yang harus diikuti oleh pemohon dan itupun memiliki konsekuensi hukum seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 4 tahun 2009.

Dijelaskan Hendri, pasir tergolong dalam batuan (pasir, tanah urug, batuan), dan di dalam UU 4/2009 batuan itu boleh diusahakan dengan cara memohon izin kepada Gubernur sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Tentu dalam permohonan itu harus ada persyaratan.

“Pertama, wilayah yang dipermohonkan oleh pemohon untuk menambang pasir itu harus terlebih dahulu di tetapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), namun itu belum merupakan izin. Setelah itu kami akan mengecek melalui UPTD di wilayah yang memohon. Kemudian, UPTD sesuai wilayah akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat (lokasi pertambangan), apakah WUIP sudah sesuai atau tidak dengan tata ruang daerah itu,” jelasnya secara ekslusive kepada Simbur, Rabu (13/2).

Dicontohkan Hendri, tata ruang di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) melarang penambangan pasir disepanjang sungai yang masuk di wilayah kota Sekayu. Artinya, tidak akan bisa ditambang atau tidak akan dikeluarkan izinnya karena pemerintah kabupaten (Pemkab) Muba tidak merekomendasikan wilayah sungai di area kota Sekayu untuk ditambang.

“Setelah ditetapkan oleh pemda setempat sesuai dengan tata ruangnya, maka Gubernur akan menetapkan daerah itu menjadi WIUP, baru mereka melakukan eksplorasi. Eksplorasi itu adalah mencari potensi pasir sepanjang wilayah, aliran sungai yang sudah sesuai dengan tata ruang daerah setempat,” ujarnya dan menambahkan bahwa pemohon bisa saja dari badan hukum, perorangan, perusahaan atau koperasi.

Tahapan izin itu, Lanjut Hendri, pemohon mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi. Saat mendapat area tambang, lalu dibuat laporan dan akan dilakukan studi kelayakan dan satu lagi yang terpenting adalah dokumen lingkungan (SPPL, UKL UPPL, Amdal). Kalau nanti wilayah penambangan itu berada dalam satu kabupaten/kota, maka kewenangan menyetujui dokumen lingkungan (izin lingkungan) itu ada di (kewenangan) Bupati atau Wali Kota.

“Jadi untuk meningkatkan (status) dari eksplorasi menjadi produksi (menambang) maka harusmemenuhi persyaratan laporan eksplorasi lengkap, studi kelayakan, dokumen lingkungan reklamasi dan pasir tambang. Baru diusulkan ke Gubernur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) untuk diterbitkan IUP usaha produksinya,” tambah Hendri.

Ditegaskan bahwa tidak akan mungkin IUP operasi produksi terbit apabila dokumen lingkungannya tidak disetujui. Apabila pertambangan itu berdampak kepada masyarakat atau kerusakan lingkungan, dipastikan izin lingkungan tidak keluar dan tentu IUP tidak akan terbit. Artinya, jika IUP operasi prosuksinya sudah terbit, maka dari aspek teknis dan lingkungan itu (pertambangan) itu sudah layak.

“Pada proses tersebut, Dinas ESDM Provinsi hanya sampai pada proses penetapan WIUP. Artinya, proses blok (menetapkan) wilayah izin pertambangan itu ranahnya di Dinas ESDM. Setelah mendapat WIUP, diajukan permohonan IUP eksplorasi ke Gubernur melalui DPMPTSP. Untuk memproses IUP eksplorasi, DPMPTSP akan meminta pertimbangan teknis dari Dinas ESDM. Karena pembagian pengerjaan untuk batuan itu ada di UPTD, maka yang mengeluarkan pertimbangan teknisnya adalah Kepala Dinas ESDM melalui Kepala UPTD,” katanya

Terkait tambang ilegal atau Pertambangan liar (Peti), dari aspek hukum telah diatur dalam pasal 158 UU 4/2009, bahwa barang siapa atau setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan tanpa memiliki izin, diancam pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

“Dari aspek hukum, Peti atau tambang ilegal walaupun hanya skala kecil atau peralatan sederhana, maka tetap termasuk dalam kategori pertambangan ilegal. Selain itu, pada pasal 161 UU 4/2009 pihak yang mengangkut, menjual, dan membeli juga diancam dengan hukuman dan denda yang sama pada pasal 158,” tegasnya.

Dilanjutkan, setiap hasil tambang yang diproduksi itu ada kewajiban membayar pajak bahan galian batuan (pajak galian C) di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) daerah setempat. “Kami di provinsi itu tidak memungut (pajak). Jadi yang dirugikan itu adalah pemerintah daerah setempat di mana pasir itu ditambang. Pajaknya itu murni akan menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD),” ungkapnya.

Terkait isu Peti, Dinas ESDM Provinsi Sumsel telah melakukan beberapa upaya agar para penambang segera mengurus perizinannya. “Kami melalui UPTD sudah menyosialisasikan, sudah buat surat, bahkan sudah diperingatkan kepada mereka yang menambang tanpa izin sesuai dengan UU. UPTD juga akan membantu proses percepatan izin dengan datang door to door ke lokasi (penambangan), karena terkadang masyarakat tidak tahu mekanisme dan prosedurnya,” terangnya sembari menambahkan jika sudah ada beberapa kasus Peti yang sedang disidik oleh Polda Sumsel karena penegakan hukum merupakan ranah Kepolisian.

Saat ditanya soal oknum yang membekingi Peti, Hendri mengaku tidak tahu-menahu soal itu. “Soal ada beking atau tidak saya tidak tahu, yang jelas kalau kategorinya tidak ada izin maka kami akan pakai dengan (pasal) 158 UU 40/2009. Pasal itukan mengatakan bahwa siapa saja, dan itulah yang kami sampaikan ke aparat hukum bahwa pasal itu mengancam setiap orang (siapa saja) yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin. Walaupun dia pemerintah kalau membeli yang ilegal, dia akan kena pasal (161) itu juga,” kilahnya.

Hendri juga menegaskan kepada (kontraktor) yang memanfaatkan pasir atau bahan galian apa saja agar tidak membeli bahan galian dari tambang yang tidak memiliki izin. Karena resiko tuntutan hukumnya akan sama dengan yang menambang. “Kami pernah memanggil kontraktor jalan Tol di Sumsel, bahkan sampai dua kali rapat di sini (Dinas ESDM). Kami panggil mereka agar tidak membeli pasir atau pasir urug dari yang tidak berizin. Karena diduga, kok ada timbunan (tol) tapi kami belum mengeluarkan izin. Terus dari mana tanahnya. Katanya (kontraktor) beli dari masyarakat. Kami bilang itu tidak bisa, masyarakat walaupun menjual kepada anda, tetap harus ada izin dulu (tambangnya),” ungkapnya.

Terkait efek okonomi, Hendri menjelaskan jika sepanjang itu wilayah Indonesia, mau bahannya pasir dari daerah lain dibawa ke Sumsel untuk infrastruktur, itu tidak jadi masalah sepanjang itu legal. Hanya saja, lanjut Hendri, jika dilihat dari aspek ekonomi, ongkos angkut pasir itu akan jauh lebih mahal. “Kecuali, bahan galian atau produk di Sumsel tidak sesuai dengan spesifikasi infrastrukturnya. Kalau memang memenuhi (spesifikasi), orang (kontraktor) akan cenderung memakai bahan galian dari Sumsel. Jadi, tidak ada istilah tambang pasir di Sumsel akan mati (bangkrut) karena masuknya pasir dari luar Sumsel. Pembangunan jalan tol di Sumsel semuanya pakai (pasir) lokal.,” paparnya.

Kepala Ops Tol Palindra sekaligus Kepala Cabang PT Hutama Karya (HK) Palembang, Darwan Edison membenarkan jika bahan galian (pasir) yang digunakan dalam pembangunan jalan tol Palindra diambil dari tambang pasir lokal. “Dari OI (Kabupaten Ogan Ilir). Persisnya tanya kontraktornya PT HKI (Sub-kontraktor Tol Palindra),” singkatnya kepada Simbur melalui pesan singkat.

Sementara, salah seorang warga Gandus yang tidak ingin disebutkan namanya, memastikan jika kendaraan truk pengangkut pasir saban hari semakin bertambah jumlahnya. Namun, dirinya merasakan tidak ada dampak ekonomi yang dirasakan warga sekitar tambang tersebut. “Tambah banyak. Apalagi perumahan baru di daerah Gandus tambah banyak. Jadi tambah banyak mobil truk, sementara mobil angkot semakin sepi. Kalau soal ada bantuan atau tidak ke warga saya tidak tahu, mungkin ke ketua RT,” katanya kepada Simbur.

Kemarin saja, lanjut warga, saat pembangunan jalan tol Palindra, mobil besar angkutan pasir itu parkir sampai depan rumah warga. “Berapa mobil truk lewat dan parkir. Itu ambil pasir di sini (Karim) untuk pembangunan jalan tol itu. Pokoknya ambil diantara tiga (tambang) itulah. Mobil besar semua itu. Saya tidak tahu siapa kontraktornya, yang jelas pas mobil fuso dengan tulisan “Jakarta-Palembang”, dengan menggunakan plat B (Jakarta). Memang dikirim dari Jakarta karena mungkin kekurangan mobil (angkutan bahan galian). Di sini karena mungkin di daerah lain itu tidak ada pasir jadi di sinilah,” ungkapnya.

Terkait keberadaan tambang Karim (Samudera Jaya, Mutiara, Biduk Mas) warga tersebut mengatakan jika itu semakin memperparah kondisi wilayah sekitar akibat tebaran debu yang kian menebal. “Perusahaan tambang itu sering dituntut orang (warga sekitar) karena debu di jalanan. Waktu warga melaporkan ke pihak keamanan, malah warga yang disalahkan karena membangun rumah di sekitar lokasi. Memang pemilik tambang kurang bersosialisasi dengan warga setempat,” kesalnya.

Ditambah lagi, ketiga tambang tersebut dinilai tidak responsif terhadap warga sekitar karena tidak memberdayakan warga. “Setau saya adanya tambang di wilayah sini tidak memiliki efek ekonomi bagi warga sekitar. Dia juga mengambil karyawan bukan orang sini (warga sekitar), paling yang direkrut itu keamanan saja,” ujarnya.

Sebenarnya, lanjut warga, dulu ada rencana di lokasi tambang itu akan dibangun kantor kecamatan Gandus, tetapi mungkin karena kemahalan (harga tanah) akhirnya dipindahkan ke tempat lain. “Nah, saat tambang itu masuk, tahulah sendiri malah tambah parah Gandus ini,” sesalnya.

Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan (Sumsel), Haerul Sobri yang akrab dipanggil Eep mengatakan jika galian C atau pasir di daerah aliran sungai (DAS) jika dieksploitasi secara besar-besaran itu baru mengganggu atau merusak habitat. Paling tidak, dampak tambang di DAS itu bisa merusak kualitas air sungai itu. “Belum lagi jika eksploitasinya sudah terlalu masif, dasar sungai itu akan terganggu dan kemungkinan besar akan mengganggu ekosistem sungai, atau bisa saja terjadi erosi pada pinggiran sungai. Tidak jauh berbeda dengan galian C yang ada di daratan, itu akan mempengaruhi lingkungan,” terangnya saat dikonfirmasi Simbur.

Sementara galian C yang ada di daratan, dikatakan Eep adalah contoh-contoh dari reklamasi, dimana tanah di ambil untuk menimbun tempat yang baru. “Tentu itu akan mengubah karakteristik dari suatu daerah. Contoh di Palembang, galian C itu kebanyakan untuk menimbun rawa yang akhirnya menjadi salah satu faktor penyebab banjir di Palembang,” lanjutnya.

Seharusnya, pembangunan itu ada aturan dari tata ruangnya. Jika ada aturan pembangunan itu bisa dihitung daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup daerah itu. Kalau tidak mengacu pada aturan, itulah yang berdampak buruk seperti banjir dan lain sebagainya.

“Sebenarnya pembangunan itu dilihat terlebih dulu, apakah itu dilakukan untuk kepentingan masyarakat atau hanya untuk kepentingan bisnis saja. Kalau seutuhnya untuk rakyat pembangunan itu pasti tidak masif, karena akan ada tahapan dan proses dan sumber daya alamnya bisa pulih. Tetapi jika (pembangunan) masif itu pasti akan mengganggu lingkungan. Kalau menurut kami, pembangunan itu harus sesuai dengan karakter wilayah,” jelas Eep.

Terkait lingkungan hidup, Walhi Sumsel terus mendorong pemerintah untuk penerapan aturan tata ruang yang berpihak pada lingkungan hidup. “Ini tidak bisa satu pemerintah daerah saja yang didorong karena semua daerah merupakan satu kesatuan dalam hal lingkungan hidup. Contohnya, jika hutan di Lahat atau Pagaralam rusak, maka daerah ilir akan menerima juga dampak kerusakannya. Jadi, memang harus ada komitmen kuat dari seluruh wilayah (pemda) untuk harus punya potensi peta-peta bencana. Kalau pemda mengacu pada tata ruang, pasti pembangunan akan terarah, tetapi kalau tidak itu biasanya mengikuti kepentingan bisnis,” ujarnya.

Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Sumsel, Muhammad F Ridho ST MT memastikan bahwa dewan akan segera berkoordinasi dengan Dinas ESDM guna mencari solusi terbaik terhadap tambang pasir khusunya tambang rakyat.

“Kami menghargai bahwa masyarakat mendapat penghasilan dari usaha tambang pasir itu, namun kami harapkan aktifitas penambangannya mengikuti aturan yang ada. Nanti kami (dewan) yang akan melakukan koordinasi dengan mengundang Dinas ESDM provinsi apakah memang aktifitas penambangan pasir itu ada yang melanggar ketentuan,” ujarnya kepada Simbur melalui sambungan telepon.

Nanti lanjut Ridho, pihaknya akan kami dorong para penambang untuk mengikuti ketentuan yang berlaku, paling tidak menyesuaikan dengan aturan sehingga aktifitas mencari rejekinya itu dapat berlangsung terus-menerus. “Kalau aktifitas pertambangannya sudah dalam taraf membahayakan, nanti pihak terkaitlah yang bisa menyetop kegiatan itu.

Untuk menyelaraskan pembangunan yang masif dengan tambang pasir tetap beroperasi tetapi tidak merusak lingkungan, nanti akan dikoordinasikan dengan dinas terkait karena menurut Ridho, Dinas ESDM yang lebih mengetahui secara teknis maupun peraturan tentang hal itu. “Hal itu menjadi masukan kepada kami (dewan) untuk disampaikan ke dinas terkait agar penambangan yang ada di Sumsel khususnya pasir itu dapat berlangsung tetapi tidak melanggar aturan dan tidak merusak lingkungan,” pungkasnya.

Tertibkan Tambang Pasir di Sumsel

Keberadaan sungai Musi anak anak sungainya yang mengakar di hampir seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), selama ini dijadikan sumber ekonomi rakyat khususnya para nelayan. Namun, bukan hanya kekayaan nabati saja, potensi pasir kuarsa pun menjadi lahan menggiurkan bagi banyak masyarakat Sumsel. Sayangnya, sejauh ini, potensi pasir kuarsa justru kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Provinsi (Pemprov Sumsel). Alhasil, banyak tambang pasir ilegal dan mangkrak di sebagian area daerah aliran sungai (DAS). Terkait, Wakil Gubernur Sumsel, Mawardi Yahya akan bertindak tegas untuk menertibkan tambang-tambang pasir tersebut, sehingga akan berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD) Sumsel. “Sebenarnya ini kami akan mulai dari perizinan yang akan ditertibkan, baru tahu ya. Kita mulailah, pendataan ulanglah,” ujarnya saat dikonfirmasi Simbur, di gedung BPK Perwakilan Sumsel, Selasa (29/1).

Terkait tambang pasir mangkrak dan illegal yang ditemukan, Mawardi menegaskan bahwa semua akan ditertibkan. “Itu akan kami tertibkan yah,” singkatnya sembari masuk ke dalam mobil dinasnya.(tim)

 

(Berita ini telah dimuat sebelumnya di surat kabar SIMBUR SUMATERA Nomor XXIX Edisi 17 April—15 Mei 2019)