Oknum Wasidik: Kalau Tidak Ada Peluang Damai, Pilih Jalan Masing-Masing Saja

PALEMBANG, SIMBURNEWS – Gelar perkara saling lapor kasus penyerobotan tanah yang rencananya dilakukan Subdit II Harda Ditreskrimum Polda Sumsel, Selasa (13/2) pagi ditunda. Penundaan gelar perkara sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan disebabkan pemeriksaan Tim Mabes Polri terhadap Ditreskrimum Polda Sumsel pada waktu yang bersamaan.

“Hari ini ada pemeriksaan dari Mabes Polri jadi akan kami jadwalkan ulang lagi. Jadwal (Mabes Polri) siang tapi mendadak berubah pagi,” ungkap AKBP Faizal, Bagian Pengawasan Penyidikan (Bagwasidik) Ditreskrimum Polda Sumsel, Selasa (13/2).

Di sela penyampaian alasan penundaan gelar perkara itu, tim wasidik justru menyelipkan pertanyaan bernada intimidasi yang mengarah pada perkara tukar guling dan hibah tanah. Pertanyaan itu diduga memberatkan posisi korban Azhari sebagai terlapor balik dari split Muhasim dengan dasar LPB/320/V/2017/SPKT tanggal 15 Mei 2017. Tim wasidik tidak mengimbangi pertanyaan kepada korban Azhari sebagai pelapor awal berdasarkan nomor LPB/137/II/2017/SPKT tanggal 22 Februari 2017 dengan terlapor Muhasim dan H Iran Suhadi ST MM.

“Apa alasan mengembalikan posisi tanah setelah orang tua (Suprayitno alm) tidak ada (wafat) padahal sebelumnya telah terjadi kesepakatan hibah dan tukar guling,” ungkap AKBP Faizal, Selasa (13/2).

Azhari pun dengan tenang menjawab bahwa awalnya orang tuanya tidak menghendaki hibah dan tukar guling tanah yang menjadi dasar laporan balik Muhasim. “Mereka (pihak Muhasim) sendiri yang menghibahkan dan menukar posisi tanah tanpa disertai pemecahan surat. Dari data terbaru yang saya dapatkan, itu (tanah hibah) masih atas nama Muhasim. Artinya, saya justru ingin bertanya, mana tanah yang dihibahkan dan ditukarkan itu. Kami minta mereka menunjukkan secara fisik di lapangan. Dari situ baru bisa mengeluarkan surat-surat dan sebagainya. Kami tidak bisa menganggap surat hibah itu ada. Kalaupun ada bisa dibatalkan demi hukum,” ungkapnya.

Oknum penyidik lainnya pun menimpali, apakah ada peluang damai jika pihak Muhasim memenuhi keinginan korban, seperti dengan melakukan pemecahan surat. “Inti masalahnya kan itu. Sebenarnya ini di luar konteks penanganan penyidikan. Kalau masih ada peluang (damai) apa salahnya karena kita mencari problem solving. Kalau itu bisa ditempuh kenapa tidak. Kalau tidak bisa, ya sudah kita pilih jalan masing-masing saja,” ungkap seorang oknum wasidik yang tidak menyebutkan namanya.

Menyikapi pressure tersebut, Azhari menanggapi dingin dan teduh terkait intimidasi salah satu oknum wasidik paruh baya yang berkemeja merah muda dengan sedikit rambut di kepalanya. “Kecil kemungkinan (damai) dari saya. Kalau ditanyakan apa kehendak kami, itu bukan tujuan. Seharusnya kami yang bertanya apa kehendak mereka,” tegasnya.

Masih kata Azhari, pihaknya sudah lama dan berapa kali membuka peluang renegosiasi “Kami anggap (mereka) tidak ada itikad baik karena telah melapor balik. Kedua, ada sesuatu secara administrasi yang sedang saya pastikan datanya, mudah-mudahan valid. Kami merasa sudah dizalimi,” ungkapnya.

Ditanya apakah tanahnya diminta untuk jalan perumahan, Azhari menepis kepentingan developer tersebut. “Kalaupun ada perumahan dan ada jalan, mereka yang menyerobot tanah kami. Karena dari alas hak dan sesuai peta bidang itu masih posisinya utuh, lurus seperti semula,” imbuhnya.

Dilanjutkan Azhari, pada 2015 tanahnya sudah sempat keluar peta bidang, tetapi tidak pernah sampai kepadanya. “Ada novum yang mungkin kami anggap sebagai alat bukti baru. Ternyata yang kami proses tersebut sudah muncul peta bidang. Aslinya tidak di tangan kami. Ternyata sudah diambil oleh pihak lain yang tidak kami ketahui. Kami tanya siapa yang mengambilnya, tetapi pihak BPN tidak memberikan keterangan,” bebernya.

Dikatakannya, peta bidang asli miliknya diduga hilang. Saat mengurus SHM, seharusnya peta bidang asli itu menjadi haknya. Akan tetapi, keberadaannya tidak ada yang tahu dan (BPN) tidak mau memberi tahu.
“Kalau saya mengambil, alas hak yang kami pegang akan dikembalikan ke negara. Paling tidak, di kantor tanah itu ada catatan siapa yang mengambilnya,” ungkapnya.

Ketika dua pihak tengah berperkara, Kantor ATR/BPN Kota Palembang diduga mengeluarkan sertifikat siluman yang ditandai tumpang tindih peta bidang di atas tanah berukuran 200 meter persegi. Mirisnya, peta bidang asli pemilik tanah yang sah Suprayitno (alm) dengan nomor 04039 tahun 2015 dinyatakan hilang. BPN Kota Palembang justru membantah adanya sertifikat baru dengan peta bidang nomor 0234 tahun 2017 milik orang lain.

Terkait itu, polisi seharusnya profesional, modern, dan terpercaya dalam menangani kasus ini. Ketika ada dua pihak bersengketa, objek yang disengketakan ternyata sudah dicuri orang. “Tangkap dulu pencuri peta bidang dan periksa oknum (BPN) yang diduga mengeluarkan sertifikat  di atas tanah kami. Nanti ketahuan siapa yang bermain dalam kasus ini,” ungkapnya.

Perbincangan tim wasidik dengan korban selesai setelah staf menyebut nama Kompol Samrudi (Kanit 5 Subdit II Harda Ditreskrimum Polda Sumsel) yang dikabarkan berhalangan saat gelar perkara itu karena sedang mengikuti pemeriksaan tim Mabes Polri di gedung Atmani Wedhana Ditreskrimum Polda Sumsel. Diketahui, nama Kompol Samrudi sering diungkapkan H Iran Suhadi ST dan gerombolannya serta diduga kuat sebagai beking mereka
dalam satu majelis. “(Kiyai) Samrudi inilah yang ingin gelar perkara tapi berhalangan karena kebetulan sedang menyambut tim Mabes Polri,” ungkap sumber yang tak perlu disebutkan namanya.

Sementara itu, Lurah Talang Jambe, Zulkarnain mengatakan tidak terlibat dalam peristiwa itu.  “Saya tidak terlibat dalam kasus tersebut,” ungkap Lurah Zulkarnain yang kebetulan bertemu wartawan di ruang Harda dan memenuhi panggilan polisi di bawah komando Kompol Samrudi terkait dugaan kasus pemalsuan dokumen di wilayah Talang Jambe.

Zulkarnain juga mengatakan bahwa pihaknya berada di tengah-tengah dan tidak memihak siapa pun. “Jika ada permasalahan, kami selesaikan,” akunya. (mrf)