Pelaku Bisa Jadi Korban dan Ajukan Restitusi

# Satu Begal yang Ditembak Berstatus Pelajar


PALEMBANG, SIMBURNEWS – Penangkapan empat tersangka yang diduga merampok driver taksi online di Kabupaten Ogan Ilir Kamis (2/11) pukul 02.00 dini hari semakin menjadi misteri. Informasi yang diperoleh, salah satu terduga begal berinisial IR (17), warga Kertapati yang dilumpuhkan dengan timah panas polisi masuk kategori anak dan berstatus sebagai pelajar di sekolah menengah di Palembang.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Palembang, Ahmad Romi Afriansyah menyesalkan diskresi penembakan yang dilakukan terhadap anak dan masih berstatus pelajar meskipun yang bersangkutan diduga terlibat melakukan tindak kejahatan. “KPAI tetap menyayangkan terjadinya penembakan terhadap pelaku anak-anak. Oleh karena itu, kami mengimbau kepada pihak korban untuk menggugat. Kami meminta mereka (pihak korban) untuk melaporkan kejadian tersebut ke lembaga hukum yang berwenang. Kalau di wilayah tersebut ada KPAI, silahkan dilaporkan. Tetapi jika tidak, silahkan ke lembaga hukum yang ada,” imbaunya.

Dijelaskannya, sesuai UU perlindungan dan peradilan anak, usia pelaku di atas 12 tahun, hukumannya sama dengan orang dewasa, termasuk dengan sanksi. “Sanksi itukan adalah cara pandang hukum, sehingga tindakan penembakan aparat terhadap pelaku yang masih berstatus pelajar bisa jadi karena tingkat kejahatannya yang dilihat. Tetapi jika pelaku masih di bawah umur, itu pelanggaran (kode etik),” tegasnya.

Meskipun pelaku begal, tambah dia, kalau yang namanya anak-anak umur, 18 tahun ke bawah) jangan asal main tembak. “Pelaku ditangkap itu sudah bagus. Seharusnya diperlakukan sebagaimana usianya. Secara pribadi, kami kecewa (atas penembakan),” keluhnya.

Ditambahkan Romi, orang tua dan keluarganya bisa saja menuntut pihak yang melakukan penembakan. “Kalau orang tua pelaku bisa menyewa pengacara atau kuasa hukum itu bagus. Kalau di daerah tersebut tidak ada KPAI, orang tua pelaku bisa melapor ke LBH atau dinas PPA setempat. Dari dinas PPA akan merekomendasikan ke PP2TPA (Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak). Kalau orang tua sudah menggugat soal penembakan itu, maka harus didampingi oleh PP2TPA,” terangnya.

Terkait anak bermasalah hukum, masih kata dia, tetap harus dibedakan dengan pelaku dewasa. “Kalau pelaku masih usia 12 tahun ke bawah untuk peradilan anak pasti bisa ditempuh jika terjadi pelanggaran seperti itu (penembakan). Kalau pelaku usia 12 tahun ke atas atau mendekati batas usia anak-anak, jika ingin menempuh jalur hukum harus menggunakan pengacara, kuasa hukum atau LBH. “Bisa, tetap masih bisa menempuh jalur hukum. Karena usia 17 itu masih termasuk anak-anak,” tegasnya.

Dikatakannya pula, restorative justice bisa saja diberlakukan terhadap pelaku. Jika ditemukan pelanggaran yang dilakukan aparat, ini pasti pihak korban melalui kuasa hukum akan menggugat dan melayangkan praperadilan. “Dari situlah prosesnya bisa dimulai (restorative justice),” terangnya.

Ketua DPC PERADI Kota Palembang, Hj Nurmalah SH MH menyayangkan tindakan penembakan tersebut. Menurut dia, hal itu bisa saja terjadi (penembakan). “Mungkin saja pada saat penangkapan dianggap sudah dewasa. Yang harus diketahui, apakah saat penangkapan pelaku melakukan perlawanan atau berusaha melarikan diri sehingga harus ditembak. Kalau pelaku tidak melarikan diri, kenapa harus ditembak. Mungkin saat itu, polisi tidak tahu pelaku tersebut masih anak-anak. Itu persoalan juga kan. Apapun itu, (pihak kepolisian) harus sesuai dengan prosedur yang berlaku, sesuai SOP dan aturan hukum,” terangnya.

Dirinya belum dapat menyimpulkan kasus ini karena belum tahu banyak kronologis kejadiannya. “Yang jelas, polisi harus sesuai SOP dalam melakukan penangkapan pelaku. Tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Sepanjang hal tersebut dijalankan, tidak ada yang salah (diskresi polisi). Tetapi, apabila dilanggar kemudian yang menjadi korban dan melapor, itu tergantung dari Propam yang memprosesnya,” tandasnya.

Ditambahkannya, bisa saja jika pelaku yang tertembak mau melaporkan sebagaimana PP 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang baru saja ditandatangani Presiden Joko Widodo, 16 Oktober lalu. “Karena tidak senang ditembak atau merasa dirugikan kemudian melaporkan. Kalau pelaku merasa menjadi korban, dia bisa saja meminta ganti rugi.

Sebagai praktisi hukum, dirinya berpesan kepada aparat hukum bahwa tindakan tegas itu memang perlu, tetapi, sepanjang itu tidak menyalahi prosedur dan aturan hukum. “Untuk pelaku begal, jangan juga melakukan hal seperti itu. Kalau perlu para penegak hukum seperti hakim dan jaksa, untuk menghukum berat kepada pelaku yang terbukti melakukan kejahatan. Tetapi jika pelaku masih anak-anak tetap ada aturan hukumnya (sepertiga dari hukuman orang dewasa),” tutupnya

Diwartakan sebelumnya, keempat pelaku ditangkap dalam perkara TP 365 KUHP dengan LPB/119/X/2017/Res OI/Sek pemulutan, tanggal 25 Oktober 2017 dengan korban Hendi Gunawan. Kronologis kejadian, keempat tersangka memesan taksi online dengan tujuan Pemulutan. Korban yang tanpa curiga menjemput dan mengantar mereka. Setelah tiba di daerah Pemulutan, tersangka melancarkan aksinya dengan mengancam korban dengan pisau dengan cara menjerat leher korban. Setelah berhasil menguasai harta benda korban, tersangka kemudian mengikat korban dengan seutas tali yang sudah disiapkan sebelumnya, dan membuangnya ke hutan. Setelah berhasil, tersangka melarikan satu unit mobil pribadi jenis Daihatsu Xenia warna silver tahun 2016. Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum bisa dikonfirmasi dan harus menunggu rilis resmi dari Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara.(mrf)