- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
- Jejak Melayu Jambi di Nganjuk, Hidup Damai Seribu Tahun
Bagi-bagi Sertifikat, Sengketa Tanah Meningkat
JAKARTA – Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebut, bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan pemerintah buat masyarakat bukanlah solusi guna meredam potensi sengketa tanah di daerah. “Melakukan penerbitan sertifikat atas tanah, kan memang kewajiban suatu negara. Justru yang substansial dilupakan yakni penyelesaian sengketa tanah secara komprehensif dan berkeadilan,” ujar Dewi dalam keterangannya, Sabtu (27/1).
Selanjutnya, Dewi menyebut adanya tren kenaikan sengketa tanah di daerah. “Berdasarkan data KPA, terjadi 450 sengketa tanah dan lahan pada 2016. Setahun kemudian naik 50% menjadi 659 kasus.
Luasan tanah yang disengketakan pada 2017 lebih dari 520 ribu hektar,” paparnya.
Dewi menyebutkan, penyelesaian sengketa lahan oleh penegak hukum, acapkali mengabaikan rasa keadilan. Lebih condong kepada aspek legalitas yang dibungkus permasalahan ekonomi. Akibatnya, rakyat kecil acapkali tak berkutik ketika berhadapan dengan tuan tanah, penguasa, pengusaha atau pemilik modal.
Contoh kasus sengketa tanah seluas 405 hektar di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan.
mana, warga dua kelurahan yakni Srimulya dan Sidomulya harus berhadapan dengan seorang pengusaha asal Palembang.
Erwin Madjit, perwakilan warga dua kelurahan itu, mengatakan, baik pemerintah provinsi maupun kota, cenderung membela orang besar. sampai saat ini, birokrat tidak mau menemui warga untuk bernegosiasi, bahkan selalu menghindar.
Kata dia, masyarakat di Kelurahan Srimulya dan Suka Mulya, sudah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun, mereka memiliki bukti kepemilikan serta rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), kewajiban sebagai warga negara.
“Dari Ombusdman sudah mendapat tembusan dari pusat mengenai perkara dan hukum BPN yang menginstruksikan agar ditindaklanjuti sisi yuridis, administrasi, dan fisiknya, tapi hingga sekarang pihak pemerintah selalu bungkam. Selain itu, 5.000 kepala keluarga yang tinggal di dua kelurahan juga rutin membayar pajak PBB,” ujar dia.
Menanggapi konflik ini, Dewi menyarankan agar Presiden Jokowi segera merealisasikan janjinya, yakni membentuk lembaga penyelesaian sengketa tanah. “Lembaga ini langsung di bawah presiden. Karena, masalah ini menyangkut lintas kementerian. Jadi, ya harus presiden komandannya,” papar Dewi. (rel/tribun)



