- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
- Jejak Melayu Jambi di Nganjuk, Hidup Damai Seribu Tahun
Anak-anak Jangan Diajak Demo
PALEMBANG, SIMBURNEWS – Masih adanya anak-anak yang ikut dalam sebuah aksi atau demonstrasi disayangkan beberapa pihak. Karena, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35/2014 tentang perlindungan anak, menjelaskan bahwa anak-anak dilarang untuk ikut serta dalam aksi demonstrasi. Karena dalam kondisi aksi yang penuh sesak manusia, panas dan debu dari lalu lintas tidak kondusif bagi mereka. Bukan hanya itu, mengikuti aksi baik aksi damai maupun anarki, akan berdampak pada psikologi anak yang bisa saja dibawa sampai anak tersebut beranjak dewasa.
Pimpinan Palembang Grahita Indonesia (GI), Ir Esti Rahayu Winarno Spsi mengatakan bahwa dalam psikologi pendidikan, hal tersebut sangat berdampak karena akan memunculkan traumatik psikologi anak yang bersangkutan. “Seharusnya anak-anak tidak dilibatkan dalam kegiatan (demo) seperti itu,” ujarnya saat dikonfirmasi Simbur, Jumat (15/12).
Lanjutnya, Apa yang dialami akan teringat apalagi ketika anak diikut sertakan dalam aksi kemudian mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman untuk dirinya. Biasanya trauma tersebut akan dibawa sampai anak itu dewasa, apalagi suatu saat dia mengalami kekerasan seperti itu.
“Anak-anak jangan diikutkan dong, karena mereka belum tahu apa-apa. Masa bermainnya bisa tertunda. Playing delay akan terjadi karena anak-anak mengikuti terus melihat, mengalami hal-hal yang seharusnya tidak dialami. Hal yang lebih berbahaya saat mengikuti aksi dan di dalamnya ada kalimat-kalimat ancaman (orasi) atau lainnya itu sangat cepat diserap dan diingat. Kemudian akan menimbulkan rasa takut,” tambah Esti.
Masih kata Esti, jika anak-anak diikutkan dalam aksi damai, artinya lebih kepada sugesti (arahan dan penjelasan) dari orang tua. Bagaimana orang tua mendampingi anak ketika ada hal-hal seperti itu. Karena pola asuh orang tua itu sangat berpengaruh sekali terhadap kondisi kejiwaan anak atau kondisi emosi anak.
“Tetapi, sebenarnya anak tidak dilibatkan karena secara psikologi masa kanak-kanak bukan masa-masa itu (ikut aksi), tetapi masa untuk bermain,” tegasnya.
Untuk para orang tua, Esti menyarankan agar perlu dilakukan pendekatan seperti mengadakan seminar bagi mereka agar hal-hal seperti itu tidak perlu melibatkan anak-anak.
Sementara, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Palembang, Ahmad Romi Afriansyah menyesalkan masih adanya massa aksi yang masuk kategori anak-anak seperti aksi damai yang berlangsung beberapa hari ini di Palembang. Dirinya menyarankan agar sebaiknya setiap aksi tidak melibatkan anak-anak.
“UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa tidak diperkenankan jika ada upaya mengarahkan anak-anak untuk ikut aksi baik itu bermuatan politik atau non-politik. “Jadi, mereka harus bebas secara normatif,” ujarnya.
Agar ke depan tidak terjadi lagi hal serupa, KPAID Palembang akan mencoba menghubungi beberapa elemen ormas Islam dan termasuk para ulama untuk bisa berdiskusi agar sebaiknya peserta aksi tidak melibatkan anak-anak.
“Dampaknya itu banyak terutama soal keselamatan anak-anak saat ikut aksi. Karena takutnya ada kecelakaan atau lain-lainnya itulah yang dikhawatirkan. Jadi kami berharap, apabila sudah menghubungi segenap ormas Islam dan ulama agar mereka juga menyarankan anak-anak untuk tidak ikut aksi,” ujarnya.
“UU menginginkan agar anak-anak itu tidak diarahkan (ikut aksi), jadi hak anak dalam UU perlindungan anak itu jelas bahwa setiap anak yang berusia di bawah 18 tahun itu tidak diperkenankan apalagi diarahkan untuk mengikuti aksi yang mempunyai kepentingan baik itu kepentingan negara, politik dan yang lainnya. Mereka harus bebas, haknya antara lain mendapatkan pendidikan, bermain dan lain-lain,” tambahnya. (mrf)



