Bos Sawit Ngaku Titip Uang Rp61 Miliar Lewat Pengacara, Dijanjikan SP3 malah Jadi Tersangka Korupsi

# Rp27 Miliar Uang Pribadi, dari Perusahaan 34 Miliar

# Dugaan Korupsi Lahan Sawit Bersama Eks Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti

 

PALEMBANG, SIMBUR – Tim Jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Sumsel mendalami keterangan lima orang terdakwa, dugaan tindak pidana korupsi, di sektor sumber daya alam, atas penerbitan surat penguasaan hak (SPH) izin perkebunan kelapa sawit tahun 2010 – 2023. Dalam agenda konfrontir para terdakwa saling bersaksi.

Kelima orang terdakwa, yakni terdakwa Ridwan Mukti eks Bupati Musi Rawas periode tahun 2005 – 2015 sekaligus Gubernur Bengkulu. Kedua terdakwa Effendi Suryono alias Afen Direktur PT Dapo Agro Makmur atau PT DAM tahun 2010.

Ketiga terdakwa Saiful Ibna eks Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPMPTP) Musi Rawas tahun 2008-2013. Keempat, terdakwa Amrullah eks Sekretaris BPMPTP tahun 2008-2011, serta terdakwa Bahtiyar eks Kades Mulio Harjo tahun 2010-2016.

Perbuatan para terdakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 182 miliar 71 juta berdasarkan perhitungan Kantor Akuntan Publik (KAP) Imelda dan Rekan Deloit Jakarta tahun 2016 sampai 2023. Ditambah lagi hasil laporan hasil audit perhitungan kerugian negara terhadap kegiatan usaha perkebunan PT Dapo Agro Makmur (DAM) di Kabupaten Musi Rawas tahun 2010 – 2023 sebesar Rp 61 miliar 350 juta.

Terhadap penggunaan dan penguasaan lahan seluas 5.974,90 hektar oleh PT Dapo Agro Makmur (DAM) yang diperoleh secara melawan hukum. Untuk melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Musi Rawas tahun 2010 – 2023.

Majelis hakim diketuai Pitriadi SH MH didampingi Khoiri Akhmadi SH MH memimpin persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Palembang kelas IA khusus Kamis (25/9/25) pukul 14.00 WIB. Tim JPU Kejati Sumsel pertama menggali keterangan saksi sekaligus terdakwa Effendi Suryono alias Afen. Afen mengatakan ia menjabat sebagai Direktur PT Dapo sejak 10 Desember tahun 2010 – 2011, sebelumnya ia juga memimpin perusahaan juga bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit di Bangka. Dimana PT Dapo berdiri sekitar tahun 2008.

“Ini perusahaan PMA semula lokal, berubah. Setelah itu saya hanya 6 bulan saja, jabatan saya dipidindah sebagai komisaris dan kuasa direktur disana,” kata Afen.

Menut Afen kepada JPU bahwa, dasar PT Dapo membuka lahan, tentu setelah mwngantongi izin dari warga dan Bupati. Dengan nomor 472 tahun 2010 tanggal 10 Desember. Luas lahan 10 ribu 100 hektar.

“Kemudian lahan yang diperoleh PT Dapo dari masyarakat itu apa alas haknya? timpal JPU.

“Saya tanya sama bawahan saya, pokoknya kalau sudah aman, langsung tanda tangan. Wah soal SPH saya tidak melihat sampai sejauh itu. Termasuk semua nama desa saya tidak ingat, Desa Mulyo Harjo, Desa Pelawe ya pernah dengar. Kalau nama Kecamatan BTS Ulu tidak hapal, tapi Kabupaten Musi Rawas,” kata Effendi.

Saat didalami pemeriksaan oleh tim JPU Kejati Sumsel, terdakwa Afen sendiri memang terkesan tidak banyak tahu perihal urusan izin hingga pembebasan lahab, yang banyak diurus bawahannya itu.

“Menyangkut syarat izin perusahaan perkebunan sawit sampai Amdal, bahkan tidak pernah membaca soal HGU, tidak tahu saya. Namun ada 4 kali saya ke lokasi perkebunan PT Dapo, itu sekitar tahun 2013,” ungkap Afen.

Bahkan dihadapan majelis hakim, Afen dengan keempat orang terdakwa yang duduk di depan meja hijau. Selama ini tidak tahu tidak pernah bertemu.

“Selama ini tidak pernah bertemu, saya ketemunya baru disini (Pengadilan), saya pernah dengar terdakwa Kades Bachtiar itu juga dari Puspito dan Suroso bawahan saya. Tidak pernah bertemu dengan Kades Bachtiar dan terdakwa lain selama proses pembebasan lahan sawit yang mulia,” terang Afen.

“Bagaimana sekarang, apakah kebun sawitnya sudah menghasilkan? subur sawitnya? tanya JPU.

“Ya begitulah” seloroh Effendi.

“Ya begitulah bagaimana??? desak hakim ketua Pitriadi bernada penasaran.

“Iya subur, yang mulia,” timpal Effendi.

“Saya minta Puspito dihadirkan di persidangan,” harap Afen.

“Iya jadi tidak jelas, kalau Puspito tidak dihadirkan,” tambah hakim ketua.

“PT Dapo memang memberikan gaji kepada Puspito sebagai manager administrasi, tapi tidak pernah cerita soal penandatanganan izin permohonan lokasi, tidak pernah minta izin, dan tidak pernah cerita ke saya” kata terdakwa.

Afen menegaskan bahwa baik perpanjangan izin perkebunan sampai perizinan amdal bagkan IUP ia mengaku memang tidak tahu, karena tidak ada laporan dari bawahannya. Karena soal Amdal ini lama prosesnya selama 6 bulan.

Terdakwa Afen dimuka persidangan pun mengaku, bahwa uang pribadi miliknya sebanyak Rp 27 miliar lebih, ditambah 3 unit ruko di Lubuk Linggau dan tanah di Bangka telah di titipkan ke jaksa.

“Uang Rp 27 miliar dari saya, dan dari perusahaan 34 miliar total semuanya Rp 61 miliar lebih,” cetus Afen.

“Bapak kenapa mau membayar atau menitipkan uang Rp 27 miliar, janji apa ya? desak Pitriadi.

“Janjinya begini, kalau semua selesai dibayarkan, selesai semua urusan SP3,” ujar Afen.

“Yang ngomong siapa? bukan dari Kejaksaan??” cecar hakim ketua.

“Yang ngomong pengacara kita, pengacara perusahaan,” tanggap Afen.

“Sabar dulu, berarti bukan dari penyidik atau kejaksaan?? timpal Pitriadi.

“Dari penyidik ke pengacara kita,” ujar Afen.

“Ngomong kepada saudara langsung! kalau saudara bayar Rp 27 miliar ini, selesai SP3,” desak hakim ketua.

“Ya dari pihak perusahaan, bayar dulu uang ini, nanti kita ganti uang itu, kan begitu kira – kira. Saya urus semua biar tidak masalah. Tau – tau setelah 1 – 2 bulan saya dipanggil lagi,” kata Afen.

Sebagai kuasa direktur dan komisaris PT Dapo, Afen mengaku dibayar honor sebanyak 1.000 dolar sekitar Rp 12 juta, sejak tahun 2010 – 2023. (nrd)