- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
- Jejak Melayu Jambi di Nganjuk, Hidup Damai Seribu Tahun
Wacana Wangsa Warmadewa dalam Konteks Kekuasaan, Memperkuat Alam dan Budaya Bali sejak Abad Ke-9
Berdasarkan uraian di atas, Wangsa Warmadewa saat ini menjadi sebuah wacana yang menunjukkan ideologi dan kekuasaan di Pulau Bali pada abad ke-9 hingga abad ke-11. Ditinjau dari analisis wacana kritis atau critical discourse analysis, wangsa Warmadewa merupakan kajian penting dan menarik sebagai upaya atau proses untuk memberi penjelasan terhadap sebuah teks (realitas sosial) yang sedang dikaji seseorang atau kelompok dominan dengan kecenderungan mempunyai tujuan tertentu.
Berdasarkan pandangan Fairclough dan Wodak (1997), van Dijk (1998), serta Habermas (1973), analisis wacana kritis bertujuan untuk mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat ideologis di balik kata-kata dalam teks atau ucapan berbagai bentuk kekuasaan, yakni Wangsa Warmadewa.
Analisis wacana kritis merupakan studi tentang hubungan antara wacana, kekuasaan, dominansi, ketidakadilan, dan kedudukan penganalisis wacana dalam relasi sosial yang demikian sehingga lebih mengarah ke dalam relasi sosiopolitik. Beberapa ahli sosial, seperti Van Dijk, Firclough, Wodak yang telah menyimpulkan lima karakteristik AWK. Terdiri dari tindakan, konteks, historis, kekuasan, dan ideologi.
Ada tiga sentral dalam analisis wacana kritis, yakni teks, konteks, dan wacana. Teks adalah kata-kata yang tercetak atau diucapkan berdasarkan kebahasaan. Konteks merujuk pada situasi di luar dan memengaruhi bahasa, sedangkan wacana merupakan pemakaian teks dan konteks. Salah satu aspek wacana adalah pemakaian teks dan konteks historis. Analisis terhadap konteks kekuasaan dinasti/wangsa menjadi salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat yang kerapkali dipengaruhi kekuasaan Warmadewa.
Analisis wacana kritis digunakan untuk membangun kekuasaan, ilmu pengetahuan baru, regulasi dan normalisasi dan hegemoni atau pengaruh suatu bangsa terhadap bangsa lain. Teks Wangsa Warmadewa memiliki konteks sebagai salah satu dinasti keluarga yang berkuasa di Pulau Bali selama hampir tiga abad. Adapun wacana yang muncul dari teks dan konteks wangsa Warmadewa menunjukkan bahwa sistem dinasti/keluarga di balik kekuasaan sudah terjadi pada abad ke-9 hingga ke-11. Meski wacana merujuk pada dinasti/keluarga, wangsa Warmadewa tetap dikenal untuk memajukan daerah kekuasaannya dan mensejahterakan rakyat Bali.
Berdasarkan teori Norman Fairclough, terdapat tiga dimensi analisis wacana kritis untuk mengkaji Wangsa Warmadewa. Diantaranya teks, Praktik Diskursif (Discourse Practice), dan Praktis Sosial atau Sociocultural.
Teks, mengacu semua bentuk linguistik Wangsa Warmadewa. Dalam menganalisis teks tersebut diperlukan beberapa elemen. Representasi Wangsa Warmadewa melihat bagaimana sistem keluarga (wangsa/dinasti) yang disebut Warmadewa. Relasi yang dijadikan media yakni prasasti Blanjong yang isinya menyebutkan pendiri Kerajaan di Bali yakni Sri Kesari Warmadewa. Adapun identitas Warmadewa yang ditampilkan relevan dengan kelompok sosial/wangsa yang berkuasa di Pulau Bali secara turun temurun.
Selanjutnya, Praktik Diskursif atau Discourse Practice, menghubungkan bagaimana kekuasaan Sri Kesari Warmadewa hingga Udayana Warmadewa memainkan peran sesuai zamannya. Praksis Sosial atau Sociocultural Practice, digambarkan pada tokoh Sri Kesari Warmadewa yang dapat dimaknai dan menyebarkan ideologi dominan di Pulau Bali pada abad ke-9 hingga abad ke-11.
Ada tiga tingkatan menganalisis praksis sosial. Pertama, Aspek Situasional, terjadi ketika Wangsa Warmadewa diproduksi menghasilkan teks yang identik dengan situasi abad ke-9 berdasarkan prasasti Blanjong. Kedua, Aspek Institusional, melihat bagaimana pengaruh praktik wacana Wangsa Warmadewa dalam institusi organisasi pemerintahan dan masyarakat, baik secara internal ataupun eksternal. Ketiga, Aspek Sosial, mengarah pada sistem politik, ekonomi dan lainnya secara keseluruhan. Sistem tersebut menentukan Sri Kesari Warmadewa yang berkuasa dengan nilai dominan hingga berpengaruh pada masyarakat Bali.(red/berbagai sumber)



