- Jika Pemda Gelar Program Makan Bergizi Gratis, Pj Gubernur Sumsel: APBD Harus Direvisi
- Jaksa Tolak Eksepsi Terdakwa Penembakan di Kalidoni
- UMP Sumsel 2025 Sebesar Rp3.681.571, Naik 6,5 Persen atau Rp224.697
- Warga Keluhkan Nilai Ganti Rugi Pembebasan Lahan Tol Kapalbetung
- Audiensi dengan Wamenpora, Siwo PWI Pusat Siap Gelar Seminar Evaluasi PON
Kearifan Lokal Tri Hita Karana Warisan Budaya Global
# Relevan dengan Pariwisata dan Komunikasi Berkelanjutan
DENPASAR, SIMBUR – Salah satu kearifan lokal bangsa Indonesia berasal dari Bali, yakni Tri Hita Karana. Istilah dalam ajaran Hindu itu menyebutkan terdapat hubungan antara manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesama manusia. Tri Hita Karana juga dianggap sebagai peletak filosofi dasar dalam merumuskan konsep environmental social government (ESG) yang kini tengah digandrungi para elite korporasi di berbagai negara.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun mengatakan, Tri Hita Karana telah tercatat sebagai salah satu warisan budaya dunia. “Tri Hita Karana, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan alamnya (lingkungan). Tri Hita Karana sudah masuk di WHO. Mereka sudah menjadikan Tri Hita Karana warisan budaya dunia,” ungkap Tjok, Senin (18/11) lalu.
Karena itu, lanjut Tjok, di Bali kerap diadakan penganugerahan dan penghargaan kepada pengelola hotel yang menerapkan Tri Hita Karana. “Ada penghargaan kepada hotel tiap tahun yang menerapkan Tri Hita Karana. Sempat terhenti saat Covid. Sekarang sedang menata lagi konsepnya. Konsepnya greeen, apa bagiannya apa konsepnya yang green,” jelas Tjok.
Dikatakannya pula, Tri Hita Karana dari ajaran Hindu berkembang menjadi kemasan budaya. “Hindu-Buddha di Bali berakar dari budaya. Dupa sebagai saksi, bunga untuk persembahan, dan air untuk penyucian. Bali menjadi satu kesatuan yg lengkap. Karena Bali dikemas dengan budaya,” terangnya.
Hal itu membuat masyarakat Bali kerap menjaga dan melestarikan budaya warisan para leluhur. Bukan berarti, sambung Tjok, generasi penerus tidak melakukan inovasi sesuai perkembangan zaman. “Itu menjadi kemasan leluhur Bali. Leluhur Bali luar biasa sudah memikirkannya. Kami saja hanya menjaga dan memelihara. Tidak harus membuat budaya baru. Bukan berarti menunutup tidak melakukan inovasi baru,” tegasnya.
Dalam bidang komunikasi, Tri Hita Karana juga menjadi basis dasar menerapkan ESG. Terutama untuk mengaplikasikan komunikasi yang berkelanjutan. Hal itu diungkap Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) Boy Kelana Soebroto saat World Public Relations Forum (WPRF) 2024 yang digelar di Nusa Dus, Bali.
“Salah satu topik yg dibahas adalah sustainability. Selain teknologi adanya artificial intelligent, adanya sustainability. Bagaimana kami melakukan komunikasi berkelanjutan kepada masyarakat luas. Ada topik penting di situ. Bali adalah tempat yg sangat mendikung Tri Hita Karana. Mudah-mudahan ini menjadi landasan bagi seluruh profesional public relations dunia bahwa Bali sebagai tempat mereka bertemu,” ungkapnya.
Boy menambahkan, Indonesia bukan sekadar Bali. Meski demikian, Tri Hita Karana dapat mengingatkan bangsa untuk kembali pada budaya dan kearifan lokal sebagai basis utama dalam komunikasi global. “Kebetulan digelar di Bali. Di Bali ada Trihita Karana. Indonesia lebih dari sekadar Bali. Di Pulau lain banyak juga filosofi yang bisa mengingatkan kembali pada budaya dan kearifan lokal yang kita punya. Itu harus kita jaga sebagai basis dalam berkomunikasi,” tandasnya.(maz)