- Jika Pemda Gelar Program Makan Bergizi Gratis, Pj Gubernur Sumsel: APBD Harus Direvisi
- Jaksa Tolak Eksepsi Terdakwa Penembakan di Kalidoni
- UMP Sumsel 2025 Sebesar Rp3.681.571, Naik 6,5 Persen atau Rp224.697
- Warga Keluhkan Nilai Ganti Rugi Pembebasan Lahan Tol Kapalbetung
- Audiensi dengan Wamenpora, Siwo PWI Pusat Siap Gelar Seminar Evaluasi PON
Wacana Wangsa Warmadewa dalam Konteks Kekuasaan, Memperkuat Alam dan Budaya Bali sejak Abad Ke-9
SimburSumatera.com kembali melakukan ekspedisi jurnalistik bertajuk Wangsa Warmadewa: Selusur Budaya Toleransi Kerajaan di Walidwipa pada 16-25 November 2024 di Bali. Ekspedisi jurnalistik Wangsa Warmadewa mengungkap bahwa budaya toleransi telah diterapkan bangsa Indonesia sejak abad ke-9 oleh masyarakat Bali pada masa Raja Sri Kesari Warmadewa.
DENPASAR, SIMBUR – Toleransi saat itu tercermin dari apa yang telah dirintis kerajaan di Nusantara. Salah satunya wangsa Warmadewa yang berkuasa di Pulau Bali. Wangsa Warmadewa merupakan dinasti yang pernah berjaya di Nusantara pada abad ke-9 hingga abad ke-11. Sri Kesari Warmadewa, raja pertama Wangsa Warmadewa yang berkuasa di Bali sejak tahun 882 M sampai 914 M. Raja Bali yang dikenal dengan nama Dalem Selonding ini berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Saat rombongan Sri Kesari Warmadewa menempuh perjalanan dari Prambanan-Kahuripan ke ujung Pulau Jawa atau Prawali, Walidwipa atau P’oli kemudian disebut Bali.
“Bali pernah dipimpin wangsa Warmadewa. Ada masa kejayaannya. Setiap zaman ada orangnya. Setiap orang ada masanya. Masing-masing mempunyai legacy-nya. Serta memperkuat alam Bali. Hindu Buddha di Bali berakar dari budaya,” ungkap Tjok Bagus Pemayun, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, di ruang kerjanya di Denpasar, Senin (18/11).
Sri Kesari Warmadewa datang ke Walidwipa atau P’oli (Bali) untuk mengembangkan agama Buddha Mahayana dari wangsa Syailendra. Kata Warmadewa dalam bahasa Sanskerta berarti sama dengan Alexander the Great (Alexander Agung) versi bahasa Yunani. Alexander dalam bahasa Yunani berarti pria yang melindungi, sementara Warmadewa dalam bahasa Sansekerta berarti dewa pelindung.
Warmadewa merupakan wangsa yang memiliki campuran darah Yawana (Yunani), Pallawa (Persia) dan Shaka. Pada awal tarikh Masehi, wangsa ini terdesak oleh bangsa Kushan (Mongol) dan berpindah ke selatan mendirikan Kerajaan Pallawa. Pada abad ke-4 M, Samudra Gupta (335 – 375) menaklukkan kerajaan Pallawa. Maka beremigrasilah keluarga Warmadewa ke Asia Tenggara yakni ke Funan, Suwarnadwipa, Jawadwipa, Balidwipa dan Kutai.
Berdasarkan Lontar Babad Arya di Gedong Kirtiya Singaraja, sekitar abad ke-4 Masehi, di sebelah Champa (Lin Yi) bertakhta raja Bhadrawarman di Vietnam. Dia kemudian diganti anaknya, Manorathawarman. Kemudian digantikan raja Rudrawarman. Seterusnya, anak Sri Rudrawarman bernama Sri Mulawarman pergi merantau sampai ke Borneo (Kalimantan) lalu mendirikan Kerajaan Kutai.
Sri Mulawarman kemudian digantikan Sri Aswawarman. Anaknya bernama Sri Purnawarman mendirikan kerajaan Tarumanegara di Pulau Jawa. Anak Sri Purnawarman, Sri Mauli Warmadewa mendirikan kerajaan Dharmasraya hingga menjadi Raja Sriwijaya.
Dinasti Sri Mauli Warmadewa turun ke Negeri Melayu, di Sungai Melayu, hulu Sungai Tatang, di Bukit Siguntang Mahameru, Palembang. Raja Warmadewa pertama yang mengambil alih kekuasaan dari Demang Lebar Daun (Sri Maharaja Sang Sapurba Paduka Sri Trimurti Tribuana) atau Nila Pahlawan di Palembang adalah Sri Tribuana (Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa) atau Nila Utama.
Anak Sri Mauli Warmadewa bernama Sri Kesari Warmadewa berlayar ke Pulau Bali. Pertama kalinya, dia mendirikan Merajan Selonding dan Dalem Puri di Besakeh. Sri Kesari Warmadewa (yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha) datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10.