- Kejati Sedang Bidik Kasus Big Fish di Sumsel, Kejari Palembang Jadikan Deliar Marzoeki Tersangka Gratifikasi karena Bikin Resah Pengusaha yang Berinvestasi
- Rumah Kadisnakertrans Sumsel Deliar Marzoeki di Talang Jambe Digeledah
- Kadisnakertrans Sumsel Deliar Marzoeki Ditangkap, Diduga Terlibat Suap
- Presiden Prabowo Direncanakan Bakal Hadiri Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Riau
- Kepala BNPB Pastikan Pembangunan Hunian Tetap Pasca-Bencana di Sukabumi Cepat dan Tepat
Masyarakat Senang Kebagian Uang Kompensasi Tanah Nenek Moyang untuk Tambang Batu Bara
PALEMBANG, SIMBUR – Advokat Saifuddin Zahri SH MH sebagai kuasa hukum terdakwa Plt Kades Desa Darmo Mariana dan terdakwa Safarudin ketua BPD, angkat bicara, terhadap perkara dana kompensasi pemanfaatan Hutan Ramuan Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim tahun 2019.
Persidangan kali ini, pada Rabu (15/2/23) sekitar pukul 13.00 WIB dengan ahli adecart, yakni Dr Ardian Sos sebagai ahli administrasi negara. Bahwa dalam perdebatan selama ini kejadian seribu satu, artinya kasus ini belum pernah ada di Indonesia.
“Masyarakat menyewakan tanahnya lalu negara mengklaim bahwa itu tanahnya. Dimana kerugiannya? Ahli sudah menjelaskan bahwa ini adalah mall administrasi, perdesnya tidak sah dan lain sebagainya. Dan uang itu sudah dibagikan semuanya, 1.200 KK ada yang dapat Rp 10 juta dan Rp 5 juta dan lain sebagainya,” cetus Saifuddin.
Menurutnya kasus ini sangat menarik dan khusus, yang masuk ke Pengadilan Tipikor. Sebab selama ia sebagai hakim adhock sebelumnya, belum pernah mengadili perkara seperti ini. Terkait kerugian negara? Ini bukan tidak ditemukannya kerugian negara, yang jadi polemik perdebatan, ini uang negara atau bukan.
“Kalau ada kerugian negara atau tidak ada kerugian negara, itu berarti nol. Menurut UU No 31/1999 yang namanya uang negara itu, yang dikuasai pejabat negara tingkat pusat dan daerah, tidak masuk desa. Ini uangnya perusahaan swasta, ahli sudah menegaskan ini uangnya dari swasta. Lalu negara mengklaim itu uangnya bukan, tidak bisa,” ungkapnya.
“Maka ini sampai kapanpun kami akan tuntut, sampai ke Mahkamah Agung. Saya katakan jaksa bilang dengan adanya perdes, itu aset desa. Sedangkan menurut kami, perdes lahir dibuat direkayasa, sebagai syarat PT MME untuk membayar uang Rp 16,5 miliar,” jelasnya kepada Simbur.
Masyarakat sendiri diteruskan Saifuddin sudah sepakat, uang kompensasi untuk tambang batu bara itu akan dibagikan, ada yang dibelikan tanah, sampai ada sedekah adat. “Perlu diketahui!, tidak ada gejolak di masyarakat itu. Perlu diketahui! biasanya tindak pidana korupsi ini, sanksi sosial terhadap pelaku sudah ada, ini malah dia jadi pahlawan. Ini bukan maladministrasi itu Permendagrinya, tapi ini bukan keuangan negara, negara belum menguasai uang ini,” cetusnya kepada Simbur.
Perihal LPJ yang dibuat masyarakat terkait penggunaan uang kompensasi. Ditega ahli, memang banyak kades terjerat tapi itu terkait dana alokasi desa atau BLT dan sebagainya yang sumbernya jelas dari APBN.
“Nah uang ini dari mana? Ini belum menjadi kas desa, jadi perdes tidak sah, mekanismenya salah berdasarkan aturan menteri itu salah, justru itu ilegal, batal demi hukum dan lain sebagainya,” tukasnya Saifuddin.
Ditegaskan majelis hakim Ardian Angga SH MH bahwa kompensasi ini dengan tanah seluas 15 hektar lebih, terlalu kecil bagi masyarakat Adat Sumbai (Asal keturunan). “Menurut saya ini terlalu kecil uang Rp 16,5 miliar untuk masyarakat Adat 8 Sumbai dan warga Desa Darmo, harusnya dapat uang Rp 1 triliun dapat kompensasi pemanfaatan baru bara ini,” tegas Ardian.
Saksi Erlandi sebagai Pemangku Adat menegaskan, kerjasama pemanfaatan tanah dengan PT MME, bahwa sisa tanah seluas 231 hektar itu selama 15 tahun, baru akan dikembalikan dengan penghijauan. Tanah ini milik adat masyarakat Desa Darmo, merupakan sumbai nenek moyang warga Desa Darmo.
“Kalau yang mengadu itu pasti bukan orang Sumbai, bisa jadi orang luar. Untuk zisa tanah yang ada IUP PT MME saya tidak tahu, baik kabar dan suratnya. Hak tanah seluas 15 hektar harus melalui mufakat dengan warga desa Darmo. Dan sebagai pemangku adat sumbai, tidak setuju dijadikan IUP PT MME atau PT BA,” tegasnya.
“Alhamdulilah 3000 kk warga desa, merasa bersedih adanya peristiwa ini. Kami berharap agar cepat tuntas dan terdakwa segera kembali ke desa, ini merupakan ujian bagi warga,” timpal saksi pemangku adat.
Berikutnya saksi Suheri, saksi tim penyelamat hutan Ramuan Desa, mengaku mendapatkan uang Rp 10 juta sebagai kompensasi, sebab ini tanah adat milik nenek moyang, namun ada juga yang dapat uang Rp 2,5 juta merupakan warga luar dan Rp 5 juta.
“Warga menyayangkan ini bisa terjadi, terdakwa ini tidak dikucilkan warga desa. Safaruddin berjuang sebelumnya pernah Kades,” cetusnya.
Saksi Usman Gunanti, ketua RT 1 menegaskan untuk kerjasama sebelumnya pernah ada dan pernah nerima uang Rp 500 ribu, namun tidak ada urusan hukum, yang bermasalah seperti sekarang ini. “Kami sudah kerja sama, uangnya sudah habis, kenapa tiga perangkat
desa bermasalah,” ujarnya keheranan.
“Pak Safaruddin ketua BPD kenapa ditangkap, kalau begitu tangkap semua warga ini. Apa yang diterima Safaruddin dan Mariana sesuai. Hiruk pikuk warga ini, sayang kepada Safaruddin dan Marina dia menolong warga 4 dusun, kenapa ditangkap. Senang masyarakat itu,” tegasnya.
“Tidak ada gejolak, warga ini sedih kenapa tiga orang ini ditangkap. Kalau bisa tiga orang ini dibawa pulang dan kami gelar sedekah. Sebab Rimbo Desa ini peninggalan nenek moyang kami,” tukas Usman. (nrd)