- Deliar Marzoeki Dipenjara 5 Tahun, Wajib Bayar Uang Pengganti Rp1,3 Miliar
- Terpidana Sapari Ditangkap setelah Buron 13 Tahun, Jaksa Buru Tersangka Wilson
- Tata Ruang Jadi Jalan Pembuka Investasi Daerah
- Wamenkomdigi Dukung Penuh Rekonsiliasi PWI
- Yakin TMMD Ke-125 Sesuai Sasaran, Pangdam II/Sriwijaya Terima Paparan Dansatgas
Uang Beredar di Perbankan Tumbuh Pesat, Aliran Dana Sektor Riil Tersendat

PALEMBANG, SIMBUR – Selama pandemi Covid-19 jumlah uang yang beredar di perbankan terus tumbuh. Sebaliknya, dana yang ada di sektor riil perlahan lumpuh akibat masyarakat terdampak pandemi. Sejumlah upaya dapat dijadikan solusi untuk menyiasati fenomena keuangan dalam sistem perbankan yang terkena dampak krisis akibat pandemi Covid-19.
Yan Sulistyo, pengamat ekonomi dan konsultan perbankan Sumsel mengatakan, suplai uang tidak ada masalah sama sekali dari sektor perbankan. Hanya saja, peredaran uang sekarang ini banyak berpusat di perbankan.
“Hal itu bisa dilihat pertumbuhan dana yang ada di perbankan meningkat 11,6 persen. Biasanya sebelum pandemi itu dana masyarakat di bank, baik tabungan, giro, deposito hanya berkisar 6 persen. Sekarang sudah 11,6 persen. Artinya, uang (di sektor riil) itu tersendat, banyak di sektor perbankan. Itu yang sedang terjadi sekarang,” jelas Yan dikonfirmasi Simbur, Selasa (3/8).
Ditegaskannya pula, perilaku masyarakat mengalami perubahan. Orang-orang yang punya banyak uang, menyimpannya di bank. “Sementara orang yang kekurangan uang cash namun terdampak pandemi tak punya simpanan. Itu fenomena yang sedang terjadi sekarang ini,” terangnya.
Perbandingan pertumbuhan dana sektor perbankan dengan sektor riil, lanjut Yan, terlihat sangat jelas. Baik uang kartal maupun uang giral, kata dia, tidak ada masalah sama sekali. “Cuma aliran dananya saja tidak merata. Larinya ke sektor perbankan semua. Jadi di sektor rill, peredaran uang mengalami penurunan karena sudah berpindah ke perbankan. Itu saya melihat pertumbuhan dana perbankan 11,6 persen. Ini di luar rata-rata perbankan selama ini sebelum pandemi. Itu fenomena yang sedang terjadi,” paparnya.
Yan menambahkan, semua bisa melihat sektor riil, uang tidak beredar. Pendapatan masyarakat tidak mengalami pertumbuhan sama sekali karena terdampak pandemi. “Jadi uang banyak tersimpan di perbankan,” ucapnya.
Berdasarkan peraturan Bank Indonesia, terangnya, uang virtual belum bisa diberlakukan di tanah air. Karena ada UU yang mengaturnya seperti itu. Kalau ada pengusaha yang sudah bermain uang virtual itu sifatnya orang per orang. Tidak berlaku transaksi secara umum. “Di Indonesia masih menggunakan transaksi ‘cash and carry’ dan transaksi elektronik. Hanya dua transaksi itu. Tidak ada transaksi lain. Di Indonesia belum bisa melakukan transaksi virtual,” imbuhnya.
Belanjakan Anggaran Pemda
Ditanya peredaran uang untuk bantuan sosial (bansos), Yan menerangkan, jumlahnya tidak terlalu besar. “Tidak berpengaruh langsung kepada masyarakat penerima. Misalnya, bantuan uang Rp1,5 juta, untuk pengeluaran masyarakat saja tidak bisa menutupi kebutuhan rumah tangganya. Kuncinya ada di perbankan,” paparnya.
Sebenarnya, kata Yan, uang yang ada di perbankan bisa dipaksa keluar. Tentu saja melalui pemerintah dan OJK. Misalnya dana simpanan pemerintah daerah (pemda). Ini banyak disimpan di bank daerah, baik uang yang dimiliki oleh pemerintah maupun dinas-dinas.
Di situlah menurut Yan, uang di perbankan seharusnya dikeluarkan untuk menggerakkan ekonomi rakyat. “Banyak uang tersendat. Uang itu uang masyarakat yang seharusnya dikeluarkan. Semestinya pemerintah daerah mampu menarik keluar uangnya dan harus dibelanjakan. Jangan disimpan. Karena pola pemerintah daerah maupun dinasnya, menyimpan uang di bank untuk mendapatkan bunga. Harusnya ditarik/dikeluarkan untuk dibelanjakan,” jelasnya.
Antisipasi Kejahatan Perbankan
Yan juga mengimbau agar masyarakat dapat mengantisipasi kejahatan perbankan yang dilakukan para oknum tidak bertanggung jawab. “Harus diantisipasi kejahatan perbankan. Banyak kasus yang merugikan nasabah. Ketika mau mencairkan uang di bank, ternyata uang di rekeningnya sudah tidak ada lagi. Itu karena kejahatan perbankan,” ungkap Yan.
Menurut Yan, jika banyak menyimpan uang di bank, masyarakat harus rajin-rajin melakukan pengecekan. Jangan dibiarkan mengendap begitu saja selama bertahun-tahun. Terutama deposito, lanjut Yan, sangat berbahaya.
“Biasanya di deposito orang menyimpan uang dibiarkan saja selama beberapa tahun. Saat mau ditarik, uangnya tidak ada. Karena kejahatan perbankan itu tadi. Kalau disimpan di tabungan, masih bisa diperiksa melalui e-banking, internet banking atau melalui ATM. Jumlah uang masih bisa diperiksa. Tapi kalau di deposito, harus datang ke bank untuk mencetak rekening korannnya,” ujarnya.
Hasil penelusuran Simbur dari sumber perbankan, diketahui jumlah uang yang beredar (money supply) M2 (uang beredar dalam arti luas seperti deposito dan tabungan) di Indonesia meningkat menjadi Rp7.119,6 triliun pada Juni 2021 dari Rp6.994,9 triliun pada Mei 2021. Sementara, uang M1 (beredar dalam arti sempit seperti uang logam dan kertas) tercatat kisaran Rp1.915,5 triliun, sedangkan uang M0 Rp743,6 miliar.
Komponen M1 pada Juni 2021 tumbuh sebesar 17 persen (yoy). Lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Mei 2021 sebesar 12,6 persen (yoy). Pertumbuhan uang kuasi juga meningkat, dari 6,8 persen (yoy) pada bulan sebelumnya menjadi 9,6 persen (yoy) pada Juni 2021. Peningkatan M2 pada Juni 2021 terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan aktiva luar negeri bersih dan perbaikan penyaluran kredit. Penyaluran kredit tercatat tumbuh positif 0,4 persen (yoy), setelah mencatat pertumbuhan negatif sejak September 2020. Tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat tumbuh 33,9 persen (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 61,4 persen.(maz)