- Tutup Latsarmil 2025, Pangdam II/Sriwijaya: Komcad Wujud Nyata Sishankamrata
- Berbagai Penghargaan Diberikan saat HPN 2026, Hadiah Lebih Rp500 Juta
- Sebanyak 23 Orang Hilang akibat Banjir Bandang di Nduga
- KH Ma’ruf Amin Resmi Pimpin Dewan Penasihat SMSI
- Orasi Ilmiah di Unsri, Mendagri Tito Karnavian Sebut Kekuatan Riset Perguruan Tinggi Dukung Indonesia Emas 2045
Kecam Kekerasan Polisi terhadap Wartawan saat Meliput Demonstrasi Mahasiswa
PALEMBANG, SIMBUR – Kekerasan terhadap wartawan kembali terjadi. Kali ini sejumlah pemburu berita di Makassar dan Jakarta mengalami tindakan kekerasan dari oknum aparat kepolisian dan sejumlah massa. Padahal, wartawan tersebut sedang melakukan tugas peliputan saat aksi demonstrasi. Hal tersebut disesalkan banyak pihak. Apalagi, saat menjalankan tugas jurnalistiknya, para pewarta dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 40/1999 tentang Pers.
Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Ocktap Riady menyesalkan kejadian tersebut. Apalagi, jika saat tugas, korban tetap menggunakan atribut persnya, tentu insiden kekerasan itu sudah melanggar UU. “Pertama, selaku ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI pusat, saya sangat menyesalkan adanya aksi pemukulan terhadap wartawan. Karena saat itu wartawan sedang melaksanakan tugas (jurnalistik),” sesalnya saat dikonfirmasi Simbur, Rabu (25/9).
Minimal, lanjut Ocktap, ketika wartawan menggunakan atribut atau pers, aparat kepolisian justru harus melindungi yang bersangkutan. “Aparat harus melihat jika mereka adalah wartawan yang sedang menjalankan tugas dan dilindungi oleh Undang-Undang (UU 40/99 tentang Pers). Seharusnya tindakan seperti itu (kekerasan) tidak boleh dilakukan lagi,” ujarnya.
PWI akan melakukan upaya advokasi dengan berdialog dengan Kapolri sebagai pemimpin tertinggi Polri. “PWI mungkin akan meminta kepada kepolisian dalam hal ini Kapolri minimal ada (perintah) bahwa wartawan itu adalah profesi yang dilindungi oleh UU. Tolong jaga teman-teman kami di lapangan,” ungkapnya.
Karena namanya wartawan, dalam kondisi kejadian mereka akan berusaha merangsek ke depan untuk mendapatkan informasi terkini, terbaik, foto dan lain-lainnya. “Jadi mungkin ada yang berada di tengah-tengah para aktivis (demonstran), tetapi tetap dengan atribut yang dipakai dan dilindungi.Teman-teman wartawan juga harus selalu menggunakan atributnya. Itu saja,” harap Ocktap.
Terkait RKUHP yang dinilai cenderung akan melemahkan fungsi pers dan mengebiri kebebasan pers, Ocktap dengan tegas menolak segala upaya yang bisa melemahkan fungsi pers.“Saat ini RUU itu ditunda. Pasti kami menolak RUU (yang) melemahkan. Tentu kami akan menolak karena sudah mempunyai UU 40/99 tentang Pers. Minimal, kebebasan Pers tidak akan terkurangi. PWI Pusat sedang menggodok itu, apalagi ada Pokja Hukum yang akan membahasnya secara detail nanti,” pungkasnya.
Berdasarkan siaran pers dari Komite Keselamatan Jurnalis diketahui, tiga wartawan yang mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian saat meliput demo mahasiswa di depan Gedung DPRD Sulsel, yakni Muhammad Darwin Fathir (Antara), Saiful (inikata.com) dan Ishak Pasabuan (Makassar Today). Darwin mengalami kekerasan fisik berupa pengeroyokan polisi, ditarik, ditendang dan dipukul menggunakan pentungan. Perlakuan yang sama juga dialami Saiful. Ia dipukul dan dipentung di bagian wajah oleh polisi. Kekerasan ini dipicu oleh kemarahan polisi saat melihat Saiful mengambil gambar aparat memukul mundur para demonstran dengan gas air mata dan meriam air.
Ishak juga mengalami kekerasan fisik berupa hantaman benda tumpul oleh polisi di bagian kepala dan dilarang mengambil gambar saat polisi bentrok dengan demonstran. Sementara, di Jakarta, berdasarkan data AJI Jakarta, reporter Kompas, Nibras Nada Nailufar mengalami intimidasi saat merekam polisi melakukan kekerasan terhadap seseorang di kawasan Jakarta Convention Center, Selasa (24/9/2019) malam. Polisi juga sempat meminta Nibras untuk menghapus rekaman video kekerasan tersebut.
Polisi juga melakukan kekerasan terhadap jurnalis IDN Times, Vanny El Rahman. Ia dipukul dan diminta menghapus video rekamannya tentang kekerasan yang dilakukan polisi terhadap demonstran di sekitar flyover Slipi, Jakarta. Ketiga, polisi juga menganiaya jurnalis Katadata, Tri Kurnia Yunianto. Tri dikeroyok, dipukul dan ditendang oleh aparat dari kesatuan Brimob Polri. Meski Kurnia telah menunjukkan ID Pers yang menggantung di leher dan menjelaskan sedang melakukan liputan, pelaku kekerasan tidak menghiraukan dan tetap melakukan penganiayaan. Polisi juga merampas HP Kurnia dan menghapus video yang terakhir kali direkamnya. Video itu berisi rekaman polisi membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.
Kekerasan juga dilakukan massa aksi terhadap reporter Metro TV, Febrian Ahmad. Massa memukuli kaca Mobil Metro TV menggunakan bambu dan melempari badan mobil dengan batu. Akibat kekerasan ini, kaca mobil Metro TV bagian depan dan belakang, serta kaca jendela pecah semua.
Menyikapi kekerasan terhadap jurnalis ini, Komite Keselamatan Jurnalis menyatakan sikap. Pertama, mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi. Terlebih kekerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut terekam jelas dalam video-video yang dimiliki jurnalis. Kedua, mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat sedang meliput. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers. Ketiga, mengimbau perusahaan media untuk memberikan alat pelindung diri kepada jurnalis mereka yang meliput aksi massa yang berpotensi terjadi kericuhan.
Keempat, mendesak Dewan Pers membentuk Satgas Anti Kekerasan guna menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi sepanjang aksi penolakan RKUHP dan Revisi UU KPK di berbagai daerah. Kelima, data yang dikumpulkan AJI Makassar dan AJI Jakarta ini merupakan data sementara. Komite Keselamatan Jurnalis membuka Hotline Antikekerasan Jurnalis untuk jurnalis yang mengalami kekerasan di nomor 0812-4882-231 (dfn)



