PWI dan AJI Mengutuk Keras Intimidasi dan Persekusi terhadap Pers

# Tangkap Oknum Penganiaya Wartawan saat Malam Munajat 212 di Monas

 

PALEMBANG, SIMBUR – Ketua Bidang Pembelaan/Advokasi Wartawan PWI Pusat, H Ocktap Riady SH mengecam segala bentuk tindakan intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap pers. Termasuk kericuhan dan penganiayaan terhadap wartawan saat acara Malam Munajat 212, Kamis (21/2) sekitar pukul 20.30 di Monas, Jakarta.

“Apa pun bentuk intimidasi, termasuk persekusi tidak dibenarkan terhadap profesi wartawan yang bertugas sesuai Kode Etik Jurnalistik dan dilindungi Undang-Undang Pers No 40/1999,” tegas H Ocktap, kepada Simbur, Jumat (22/2).

Mantan ketua PWI Sumsel dua periode itu berharap agar pelaku pengancaman wartawan dapat ditangkap dan diproses hukum. “Kami minta penegak hukum segera menangkap oknum pelaku yang mengancam dan melakukan kekerasan terhadap wartawan di Monas,” tegasnya.

Senada, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani Amri juga mengutuk aksi kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang sedang liputan. “Kami menilai tindakan menghapus rekaman video maupun foto dari kamera jurnalis CNN Indonesia TV dan Detikcom adalah perbuatan melawan hukum. Mereka telah menghalang-halangi kerja jurnalis untuk memenuhi hak publik dalam memperoleh informasi,” tegasnya.

Dirinya menegaskan, Pasal 8 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan, dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Kerja-kerja jurnalistik itu meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik. Selain itu, mereka juga bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP, serta Pasal 18 UU Pers, dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Dikabarkan, wartawan detik.com, Satria Kusuma diduga dianiaya dan menjadi korban kekerasan saat sedang menjalankan tugas jurnalistik. Kejadian itu berlangsung saat Satria sedang meliput acara Malam Munajat 212. Bukan hanya Satria, sejumlah wartawan menjadi korban kekerasan, intimidasi, dan persekusi oleh massa yang menggunakan atribut serbs putih. Koordinator Liputan CNN Indonesia TV, Joni Aswira yang berada di lokasi menjelaskan kejadian tersebut. Jurnalis Suara.com yang berusaha melerai kekerasan dan intimidasi itu terpaksa kehilangan ponselnya.

Malam itu, belasan jurnalis dari berbagai media berkumpul di sekitar pintu masuk VIP, dekat panggung acara. Mereka menanti sejumlah narasumber yang datang untuk diwawancarai. Tiba-tiba di tengah selawatan sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi keributan. Massa terlihat mengamankan orang. Saat itu, beredar kabar ada copet tertangkap. Para jurnalis yang berkumpul langsung mendekati lokasi kejadian.

Satria pun langsung mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Satria tidak sendirian. Saat itu ada wartawan lainnya yang juga merekam peristiwa tersebut. Pada saat merekam video itulah, Satria dipiting dan dipegangi kedua tangannya. Mereka meminta Satria menghapus video yang sudah direkamnya. Karena dipaksa sedemikian rupa dan jumlah orang yang berkerumun semakin banyak, Satria akhirnya setuju rekaman video itu dihapus.

Satria lalu dibawa ke ruangan VIP. Di dalam tenda tersebut intimidasi terus berlanjut. Adu mulut terjadi lagi saat mereka meminta ID card Satria buat difoto. Satria bertahan, memilih cuma sekadar menunjukkan ID Card dan tanpa bisa difoto.

Dalam ruangan yang dikerumuni belasan–atau mungkin puluhan– orang berpakaian putih-putih tersebut, Satria juga sempat dipukul dan diminta untuk jongkok. Tak sampai situ, mereka yang tahu Satria adalah wartawan detikcom juga sempat melakukan tindakan intimidatif dalam bentuk verbal.

Ketegangan sedikit mereda saat Satria bilang pernah membuat liputan ormas tersebut saat membantu korban bencana Palu. Begitupun saat mereka mengetahui benar-benar kalau Satria bukan wartawan bodrex. Mereka juga tahu kalau Satria sudah komitmen akan menghapus semua video di ponselnya.

Satria dilepas usai diajak berdiskusi, yang mengaku pihak keamanan Malam Munajat 212. Mereka kebetulan sesama orang Bogor. Namun jaminannya bukan ID Card dan KTP yang diberikan, melainkan kartu pelajar. Satria pun dilepas dan kembali menuju kantor.

Kamera jurnalis CNN Indonesia TV cukup mencolok sehingga menjadi bahan buruan sejumlah orang. Massa yang mengerubungi bertambah banyak dan tak terkendali. Beberapa orang membentak dan memaksa jurnalis menghapus gambar kericuhan yang sempat terekam beberapa detik. Saat sedang menghapus gambar, Joni mendengar ucapan bernada intimidasi dari arah massa. “Kalian dari media mana? Dibayar berapa? Kalau rekam yang bagus-bagus aja, yang jelek enggak usah!”

Kasus intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan massa tidak hanya terjadi kali ini saja. Karena itu, Erick Tanjung, Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta pun menegaskan, atas intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis, AJI Jakarta menyerukan empat pernyataan sikap. Pertama, mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan massa terhadap para jurnalis yang sedang liputan Munajat 212. Kedua, mendesak aparat kepolisian menangkap para pelaku dan diadili di pengadilan hingga mendapatkan hukuman seberat-beratnya agar ada efek jera sehingga kasus serupa tak terulang di masa mendatang.

Ketiga, mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya. Hingga kini belum ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tuntas sampai pengadilan. “Mengimbau masyarakat agar tidak melakukan intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang liputan,” tegasnya.(tim)