Akomodasi Online Ancam Bisnis Hotel di Sumsel

PALEMBANG, SIMBURNEWS – Setelah transportasi konvensional terpukul akibat kehadiran angkutan online kini giliran hotel, baik konvensional maupun syariah terancam akomodasi berbasis aplikasi. Kontroversi pun terjadi, misalnya ketika platform AirBnB (air bed and breakfast) atau “kasur angin dan sarapan pagi” semakin merambah pasar Sumatera Selatan, khususnya Palembang.

Kehadiran AirBnB ikut menekan okupansi hotel karena industri hotel sendiri masih mengalami oversupply atau kelebihan pasokan. Apalagi layanan AirBnB memiliki keunggulan yang sulit dilawan industri hotel, yakni dari aspek harga yang jauh lebih murah. Dengan kata lain, AirBnB menjadi solusi sharing ekonomi, di mana tamu (guest) membutuhkan penginapan dengan biaya (cost) murah sedangkan tuan rumah (host) akan mendapat  penghasilan tambahan (passive income) dalam bisnis ini.

Hadirnya bisnis akomodasi online membuka peluang warga dapat menyewakan kamar dan rumah pribadinya. Hal itu membuat Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Herlan Asfiuddin menjadi gerah. Menurut dia, kehadiran akomodasi online tersebut, tentu akan memengaruhi okupansi hotel yang selama ini menjadi primadona bagi para pelancong yang ingin menikmati sebuah kawasan wisata dengan menempatkan dirinya seperti penduduk atau warga setempat. Selain terbilang murah, para pelancong juga akan mendapatkan sensasi yang berbeda ketika menginap di hotel.

Herlan pun belum mengambil sikap karena sampai saat ini. Kehadiran akomodasi online tersebut belum mengganggu eksistensi hotel yang sudah ada sebelumnya. “Silakan saja masyarakat mau jual rumah atau jual kamar, tetapi pada akhirnya orang akan memilih lebih nyaman di hotel. Hal itu juga sedang dibahas di dewan pimpinan pusat (DPP) PHRI,” ungkapnya saat dikonfirmasi Simbur, Minggu (19/11).

Terkait regulasi, Herlan memilih untuk menyerahkan kepada pemerintah untuk membuatnya. “Kami dan pemerintah akan mengkaji, jika efektif bisa saja. mereka itukan ilegal,” ujarnya.

Mengenai langkah antisapasi PHRI Sumsel, Herlan mengatakan akan melihat lebih dulu perkembangan aplikasi tersebut. “Sekarang kami lihat dulu perkembangannya sambil menunggu keputusan dari DPP. Jika (keberadaannya) berpengaruh bagi kami, bisa jadi kami akan meminta pemerintah untuk membuat regulasinya, karena mereka juga tidak ada (membayar) pajak,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mempersoalkan kehadiran akomodasi online. “PHRI sangat keberatan ya. Berapa banyak mereka mengambil porsi kita. Homestay lebih terdata, kalau AirBnB sulit ter-record. Kami dari PHRI merasa sangat dirugikan,” ujar Hariyadi saat konferensi pers pada launching The Hotel Week Indonesia di ruang Candi Mendut, Hotel Sahid, Jakarta, Senin (13/11).

Hariyadi mengungkapkan kekhawatirannya, kalau nanti situs semacam itu bisa menggilas hotel. Hariyadi pun mengatakan, dirinya lebih baik bermitra dengan situs serupa dari dalam negeri. “Kalau nggak kami dilindas habis, kalau sama-sama sharing economy kami lebih pilih bermitra yang lokal. Kalau sama lokal bisa bicara, tapi Airbnb susah, itu mesin kayak Online Travel Agency asing. Kami kepikirannya begitu sih,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Public Relation (PR) The Excelton Hotel Palembang, Diana mengatakan jika sejauh ini pihaknya tidak terpengaruh keberadaan akomodasi online. “Menurut saya, itu tidak akan berpengaruh pada okupansi hotel di Palembang. Okupansi tetap akan berjalan walaupun ada rumah warga yang menjadi akomodasi online. Pasti tidak akan terganggu. Maksud saya sama-sama berjalan,” ungkapnya.

Masih kata Diana, justru, dengan melihat kondisi saat ini dimana ketersediaan kamar hotel yang masih kurang di Palembang, kehadiran akomodasi online justru akan lebih membantu apalagi menjelang Asian Games 2018. “Itu tidak akan menjadi saingan malah membantu kami untuk mengakomodasi tamu dari luar,” ungkapnya.

Terkait regulasi yang mengatur keberadaan akomodasi online. Diana mengatakan jika hal tersebut kembali pada seperti apa kebijakan dari pemerintah untuk mengatur pola bisnis penginapan tersebut. “Kalau saya itu tergantung dari pemerintah. lebih baik jika ada peraturannya supaya aman bagi wisatawan. Jadi balik ke kebijakan pemerintah saja. Kalau perhotelan itu sudah ada ruhnya, tetapi untuk online, mungkin pemerintah bisa menyoroti lebih dalam mengenai itu. Sampai saat ini kami belum ada langkah-langkah antisipatif, masih seperti biasa. Bahkan belum setahun berdiri, kami sudah mengalami peningkatan okupansi,” pungkasnya.

Diketahui, AirBnB adalah pionir marketplace akomodasi di Amerika Serikat (AS) yang berdiri sejak 2008. Model bisnisnya mirip seperti Uber, Go-Car dan Grabs. AirBnB sendiri didirikan oleh tiga sahabat Joe Gebbia, Brian Chesky, dan Nathan Blecharczyk.

Sekarang AirBnB sudah menawarkan akomodasi di 34.000 kota dan 191 negara. Yang ditawarkan sekarang tidak hanya kamar tidur, rumah, atau apartemen semata, tetapi juga layanan bermalam di perahu yacht, kastil, pulau pribadi, iglo, mobil, tempat kerja bersama, rumah pohon, rumah mikro, galeri seni, dan hingga tenda di alam terbuka.

Dilansir dari situs resmi AirBnB Indonesia, keunggulan menjadi host (tuan rumah) bisnis ini bisa mendatangkan penghasilan tambahan sekitar Rp9.714.282 per bulan dengan jaminan asuransi Rp10 miliar. Semua pembayaran diproses secara aman lewat sistem pembayaran online Airbnb. Tamu akan dibebankan biaya ketika reservasi dibuat. Tuan rumah akan mendapatkan bayaran 24 jam setelah check-in melalui rekening setoran langsung (direct deposit), PayPal.

Di Palembang sendiri, terdapat sekitar 20 host (tuan rumah) yang menjadi agent bisnis ini. Di antaranya Valeries Family (Rp351428 per malam), Urban Farm (Rp765.708,- per malam), Kost 149 (Rp306.283,- per malam),  Bukit Demang Kost (Rp292.361,- per malam), RedDoorz Kost (Rp306.283,- per malam), dan Puri 7 Guest House (Rp194.907,- per malam).(mrf/maz)