Potensi Cetak Suara, Guru Aset Politik

PALEMBANG, SIMBUR SUMATERA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak sudah didepan mata. Tak terkecuali Sumatera Selatan (Sumsel) yang akan menyelenggarakan pilkada di 9 Kabupaten/kota dan 1 pemilihan Gubernur.

Dalam masa kampanye, tentu partai politik akan menargetkan untuk mendulang sebanyak-banyaknya suara yang berasal dari pemilih pemula yang berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku sekolah. Disamping secara psikologi pemilih pemula tersebut tergolong mudah untuk ‘dirayu’, jumlahnya pun tidak sedikit.

Seperti yang dikatakan salah satu pimpinan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sumsel, Junaidi SE Msi, bahwa semua masyarakat berpotensi untuk menjadi mesin kampanye.

Menurutnya, betapa tidak etisnya jika guru melakukan semacam kampanye atau sosialisasi dalam kelas (lingkungan sekolah). “Itukan lembaga pendidikan, secara etika itu tidak boleh. Lagipula itupun belum waktunya. Nantilah, waktunya masih panjang. Kecuali, petugas dari penyelenggara pemilu, baru boleh melakukan sosialisasi di sekolah atau mengajak sebagai pihak yang mengawasi pilkada. Sebenarnya tidak ada konsekuensi yang tertulis, tetapi secara etika itu tidak elok,” pungkasnya.

Keberadaan guru dalam peta politik pemilihan umum ternyata menjadi hal yang biasa dan terjadi dimana-mana. Hal tersebut dibenarkan oleh pengamat politik, Prof Dr M Ryaas Rasyid di Hotel Aryaduta Palembang, Kamis (26/10).

Dirinya secara blak-blakan mengatakan jika sejak dulu guru merupakan aset politik, sehingga selalu menjadi sasaran pembinaan politik. “Itu sudah dari dulu. Guru itu merupakan aset politik, jadi selalu menjadi sasaran untuk pembinaan politik agar mendukung dan biasanya menguntungkan incumbent atau orang yang didukung oleh incumbent,” ungkapnya. (mrf)

 

 

(Baca berita selengkapnya di surat kabar Simbur Sumatera edisi November 2017)