- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
- Jejak Melayu Jambi di Nganjuk, Hidup Damai Seribu Tahun
Buku Cinta Tak Lagi Perawan
BUKALAH pintu kamar yang telah kusewa itu. Kau akan disapa tumpukan buku Gibran yang berbaris rapi di meja almari. Aku siap menemanimu berkencan dalam untaian lagu Love on the Brain. Buka dan bacalah aku seperti lembar pustaka yang tak lagi perawan.
Panggil saja namaku Cinta. Aku bagai kembang kertas, terkoyak karena duri dan jarum kumbang yang menyentuh kelopak. Aku perempuan asli Surabaya. Aku terlahir dari keluarga menengah. Akibat pergaulan bebas itu, aku yang sejak kecil mengagumi keindahan karya seni kini harus menjadi puisi tanpa kata yang senantiasa dibaca banyak lelaki.
Seperti ditulis Gibran dalam bukunya, sebagian diriku seperti tinta dan sebagian lagi seperti kertas. Jika bukan karena hitamnya, sebagian diriku akan bisu. Jika bukan karena putihnya, sebagian dari diriku akan buta.
Awalnya aku pasrahkan kekasihku menjelajahi tubuh indahku ini. Karena begitu mencintai, aku memilih diam seribu bahasa. Akhirnya, di pergi meninggalkanku begitu saja. Aku hidup bagaikan unggas liar, terbang bebas ke sana kemari tanpa arah hingga patahlah sayapku dan hinggap di sini. Kini aku bimbang dan mencoba bertahan hidup di sebuah hotel di Palembang. Aku terpaksa meninggalkan Surabaya dan memerdekakan lembar demi lembar keindahan tubuhku di kota ini.
Entah sampai kapan aku begini. Hanya ranjang mawar dan sarang ular yang mampu mengerti rintihan hatiku di antara lenguh syahwat lelaki. Aku harus sabar menanti. Ketika sayapku pulih nanti, aku berjanji akan kembali kepada famili dan meninggalkan tinta hitam dalam kertas putih ini. Aku harus kembali menemukan bait-bait cinta dalam pernikahan yang hakiki.
“Perkawinan adalah penyatuan dua jiwa dalam cinta yang kokoh untuk hapuskan perpisahan. Ia adalah kesatuan agung yang terpisah roh. Ia adalah gelang emas dalam sebuah rantai yang permulaannya adalah sebuah pandangan, dan akhirnya adalah keabadian. Ia adalah hujan suci yang jatuh dari langit tak bernoda untuk menyuburkan dan memberkati ladang-ladang alam,” tulis Gibran dalam catatan kecilku ini. (*)
Baca kisah lainnya di rubrik Kudeta (Selingkuh Depan Mata) hanya di surat kabar Simbur Sumatera



