- Satu Warga Probolinggo Tewas Tertimpa Pohon Tumbang
- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
Audit Kerugian Tidak Standar, Bukan dari Pihak Berkompeten
PALEMBANG, SIMBUR – Persidangan rasuah Masjid Sriwijaya yang merugikan negara hingga Rp116,9 Miliar, memasuki agenda eksepsi atau keberatan. Peradilannya digelar Selasa (3/8) pukul 10.00 WIB, di Pengadilan Negeri Tipikor kelas IA Palembang.
Persidangan diketuai majelis hakim Sahlan Effendi SH MH didampingi Abu Hanifah SH MH mempersilakan keempat terdakwa melalui kuasa hukumnya menyampaikan eksepsi atau keberatan atas dakwan tim JPU dari Kejati Sumsel.
Salah satunya Nurmala SH MH selaku penasihat hukum terdakwa EH, kepada Simbur mengatakan bahwa perjanjian antara Masjid Sriwijaya dan PT A, ini berawal dari perjanjian, bila terjadi ada pelanggaran atau penyalah gunaan, maka masuk wanprestasi atau tidak sesuai perjanjian. “Kemudian dakwaan JPU kabur atau obscuur libel, karena JPU menggunakan dakwaan komulatif, pasal 2, pasal 3, pasal 11 tapi menggunakan uraian dakwaan penuntut umum dan pasal 2,3 dan 11 itu sama. Padahal masing-masing unsur pasal itu berbeda. Jadi rumusan deliknya tidak jelas,” tegasnya.
Kemudian peran terdakwa 1 dan 2 telah merugikan keuangan negara, sebesar Rp 116,9 miliar lebih. Disitu atas perbuatan terdakwa 1 dan 2 disimpulkan, padahal dalam perkara ini ada terdakwa-terdakwa lain. Tidak hanya klien kami EH dan SF dijelaskan mereka berdua merugikan keuangan negara.
“Kabur dakwaanya karena dana hibah, dana hibah apabila sudah diterima penerima yakni Yayasan Masjid Sriwijaya maka murni jadi kekayaannya. Begitu sudah berada di rekening yayasan maka itu adalah hak kekayaan yayasan, yang tidak tunduk lagi dengan undang-undang angaran keuangan negara. Sesuai dengan pasal 26 tentang Undang-Undang Yayasan, bahwa kekayaan yayasan dapat, dari dana hibah, hibah wasiat maupun sumbangan lain,” jelasnya.
Kekayaan milik yayasan tidak bisa dipindahkan atau ditarik pihak lain. “Dana hibah ini kan tidak langsung begitu dia keluar dari kas daerah selesai. Ini adalah masuk ranah Yayasan Masjid Sriwijaya,” cetusnya.
Ketiga, perhitungan kerugian dihitung Universitas Tadaluko, seyogyanya diserahkan kepada yang berkompeten atau BPKP. “Tapi dalam hal ini dilakukan Universitas Tadaluko kami pertanyakan, mempertanyakan kepada klien kami. Apakah ada melakukan klarifikasi pada terdakwa dan saksi tidak dilakukan audit investisigatif, sehingga tidak sampai pada tahapan audit sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh pihak kompeten, ini tidak memenuhi standar yang kompeten,” ujarnya.
Mengenai pertanggungjawaban penggunaan dana hibah, sepenuhnya menjadi kewenangan yayasan. “Dalam hal ini pengurus yayasan, pertanggungjawabannya bukan tunduk pada aturan keuangan daerah. Tetapi tanggung jawab penggunaan, apakah sesuai atau tidak. Misalnya untuk membangun masjid tapi dibangunkan untuk yang lain, itu namanya menyimpang, bukan tindak pidana tipikor tapi masuk penipuan,” terang Nurmala.
Terkait dana hibah Rp 50 miliar, bahwa anggaran dana hibah Rp 50 miliar itu dari anggaran tahun 2015, yang disahkan anggaran tahun 2014. “Artinya sudah diketahui, dari pengesahan anggaran APBD tahun 2014. Kenapa harus dilakukan duluan, sebab sumber pembangunan masjid ini, tidak mengacu pada Sumber APBD, ada pihak ketiga, ada swasta boleh dia menerima pada sumber APBD Sumsel tapi dari pihak lain juga. Sehingga tidak harus menunggu MPHD, mengacu pada kepres dan perpres, sebagaimana dakwaan JPU,” urainya kepada Simbur.
“Setahu saya NPHD Rp50 miliar, tetapi kenapa prosesnya tidak tunduk pada itu, sebab begitu diterima ini mekanisme hibah mengacu pada keuangan negara. Tetapi begitu pidah dana pindah ke rekening yayasan, maka menjadi kekayaan yayasan,” tegasnya.
Awalnya kan naskah perjanjian dana hibah daerah atau NPHD, baik tahun 2015 dan 2017. “Kalau perjanjian dilanggaran tidak melakukan prestasi atau tidak sesuai perjanjian. Maka masuk rannah hukum perdata melanggar perjanjian, hanya mengikat dua pihak masuk ranah pidana, wanprestasi. Jadi pihak Tipikor tidak berwenang mengadili. “Harapan eksepsi dikabulkan, karena dari dakwaan JPU banyak sekali celah-celah dikabulkan, kalau eksepsi dikabulkan bebas dari dakwaan,” tukas Nurmala.
Diwartakan Simbur sebelumnya, bahwa dugaan rasuah Masjid Sriwijaya digelar di Pengadilan Tipikor kelas IA Palembang, Selasa (27/7/21) sekitar pukul 10.00 WIB. Dengan majelis hakim Sahlan Effendi SH didampingi Abu Hanifah SH MH dan Waslan SH MH menghadirkan 4 terdakwa secara online di muka persidangan. Mereka yakni terdakwa EH yang mendekam di Rutan Pakjo kelas IA Palembang, merupakan pensiunan PNS eks kepala dinas Ciptakarya. Lalu terdakwa SF, pegawai PNS di Ogan Ilir dan panitia lelang Masjid Sriwijaya. Kemudian terdakwa DK selaku Dirut Operasional PT BE, serta terdakwa YD dari PT BE.
Jaksa penuntut umum M Naimullah SH MH bersama tim JPU pun membacakan dakwaan di muka persidangan secara langsung bergantian setebal 30 halaman, disaksikan para kuasa hukum terdakwa. Dakwaan pertama ditujukan bagi terdakwa 1 terdakwa Dwi Kridayani, diketahui di tahun 2015-2017 mengurus proyek Masjid Sriwijaya, untuk memenangkan tender PT Brantas terdakwa telah memberikan suap dan mempengaruhi kepada terdakwa EH dan terdakwa SF.
Para terdakwa telah bersalah telah memperkaya diri, dengan terdakwa DK mendapat uang Rp 2 miliar lebih, terdakwa YD Rp 2 miliar lebih. Kemudian terdakwa EH menerima Rp 680 juta serta SF senilai Rp 1 miliar lebih. Sedangkan PT Brantas mendapat Rp 5 miliar, dari kerugian negara Rp 116,9 miliar lebih.
“Masjid Sriwijaya awalnya menggunakan lahan seluas 15 hektar, lalu berkurang menjadi 9 hektar, berdasarkan keputusan Gubernur Sumsel atas dana hibah Rp 54 miliar, kemudian bermasalah tanah ini, karena sebagian milik masyarakat. Sayembara gambar Masjid Sriwijaya pernah dilakukan di tahun 2011, hingga Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang menerim dana Rp 80 miliar tahun 2015,” ungkap Tim JPU Kejati Sumsel.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang lelang PT Brantas Adipraya tahun 2015, maka Eddy Hermanto ketua lelang pembangunan Masjid Sriwijaya, melakukan pembayaran pertama di tahun 2015 sebesar Rp 75 miliar, tahun kedua Rp 207 miliar dan pembayaran ketiga Rp 323 miliar tahun 2017.
Pihak BPKAD Laonma L Tobing juga melakukan pencairan Rp 50 miliar ke rekening Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang. Namun baru dicairkan Rp 48 miliar dibayarkan di bulan Januari tahun 2016 ke PT Brantas Adipraya. “Dari pencairan Rp 48 miliar lebih, ke PT Brantas Adikarya dan PT Brantas Yogyakarya, dari Rp 33 miliar sisanya diambil Rp 25 miliar oleh terdakwa DK, dan dipotong PT Brantas sebagai keuntungan Rp 5 miliar. Digunakan terdakwa SF Rp 1 miliar, lalu AN Rp 2,4 miliar lebih. AN memakai untuk sewa helikopter Rp 300 juta. Maka terdakwa DK dan YD melanggar Pasal 5 dan Pasal 4 tahun 2010 dan 2012 tentang pengadaan barang dan jasa,” beber tim JPU.
Sejak tahun 2016 perkara sengketa tanah proyek Masjid Sriwijaya telah dibawa ke Pengadilan Negeri oleh Musawir dan dimenangkan penggungat 2,7 meter, maka dinyatakan Pemprov Sumsel wajib membayar ganti rugi, sampai putusan PK tahun 2020 tergugat juga dinyatakan menang. “Dalam pembangunan proyek Masjid Sriwijaya juga terjadi perubahan volume baik tiang pancang, pondasi dan timbun tanah, namun terdakwa DK tetap meminta pembayaran ke Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya, kemudian EH di tahun 2016 mengucurkan dana sebesar Rp 18 miliar lebih. Lalu di tahun 2016 senilai Rp 24 miliar lebih. Di termin kedua di tahun 2016, dengan pembangunan senilai Rp 23 miliar lebih, termin 3 tahun 2016 senilai Rp 20 miliar lebih,” terang tim jaksa di muka persidangan.
Akibatnya terdakwa DK dan terdakwa YD, telah memperkaya diri, dengan terdakwa EH dan terdakwa SF menyebabkan kerugian negara Rp 116,9 miliar lebih. Perbuatan terdakwa 1 dan terdakwa 2, diancam Pasal 3 junto 18 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan tahun 2001 junto pasal 55 junto Pasal 64 KUHP.
Selepas pembacaan dakwaan tim JPU, Sahlan meminta keterangan kedua terdakwa, terdakwa DK dan terdakwa YD, telah mendengar tuntutan dan mengatakan sudah mengerti, dan kompak mengajukan eksepsi alias keberatan atas dakwaan. (nrd)



