Tekan Angka Kemiskinan, CSR Perusahaan Dibutuhkan

PALEMBANG, SIMBUR – Forum CSR Kessos berfungsi memberikan kontribusi terhadap cara penanggulangan kemiskinan melalui pemanfaatan dana CSR. Untuk mencapai hal itu, diperlukan sinergitas Forum CSR Kessos dengan perusahaan, media, perguruan tinggi, basnas, komunitas, relawan, sehingga pelaksanaannya bisa lebih tepat sasaran.

Menurut Ketua Forum CSR Kessos Sumatera Selatan (Sumsel), J Rianthony Nata Kesuma Forum CSR menjembatani bagaimana cara supaya Badan Usaha Milik (BUM) Desa bisa diberdayakan. Bantuan dari aspek pendanaan baik dari CSR perusahaan maupun dari lembaga keuangan, akan berdampak pada tumbuh kembang BUMDesa.

“BUMDesa diberdayakan supaya ada pemberdayaan dari hulu ke hilir. BUMDesa maju, masyarakat juga berkembang sehingga bisa menekan angka kemiskinan di daerah khususnya desa,” ujarnya saat diwawancarai di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Sumsel, Senin (18/2).

Hal lain yang disampaikan adalah program penanggulangan kemiskinan melalui penciptaan lapangan usaha dan lapangan kerja. Penciptaan lapangan usaha dengan dinas tenaga kerja memberikan pelatihan dan dari sisi permodalan dan bantuan peralatan itu dibantu oleh dana CSR.

“Untuk penciptaan lapangan kerja itu dimulai dari pemagangan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Contohnya saat ini Jepang membutuhkan sekitar 700ribu anak magang dari Indonesia yang gajinya berkisar Rp 20 – 30 juta selama tiga tahun. Bagi masyarakat Sumsel yang berminat untuk magang bisa mendaftarkan diri di lembaga yang ditunjuk oleh Disnaker provinsi, bisa juga melalui Disnaker,” jelasnya seraya mengakui jika selama ini masyarakat kesulitan karena ada beban biaya baik itu pembekalan, seleksi, medical checkup, pelatda kecuali yang ditanggung APBD.

Bantuan yang diberikan berupa CSR perusahaan dengan memberikan kuota bantuan kepada peserta dan ada dana talangan dari perbankan, sehingga mereka yang berminat tidak terbebani soal biaya. “Kami targetkan sekitar 1000 orang untuk ke Jepang. Itu yang harus didorong oleh pemerintah kabupaten/kota juga, supaya target bisa tercapai. Saat ini sudah ada yang berangkat tetapi masih terbatas dikisaran 56 – 80 orang. Itu yang didorong karena kendala biaya tadi,” tambahnya.

Rianthony berharap pemerintah provinsi khususnya OPD terkait (Bappeda), itu akan memetakan terlebih dulu kantong-kantong kemiskinan. Dari situlah Forum Kessos masuk, apakah dari kualitas SDM, dari permodalan, keterbelakangan, atau yang lainnya.

“Saat ini, perusahaan besar yang terdata dan bergabung dengan forum CSR berkisar 50 sampai 80 perusahaan. Perusahaan di luar itu baik swasta, perkebunan, dan lain-lain itu yang belum terdata,” pungkasnya.

Ternyata tidak semua perusahaan yang beroperasi di Sumsel menjalankan kewajibannya untuk mengeluarkan dana CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Dijelaskan Rianthony, Forum CSR adalah wadah berkumpul perusahaan-perusahaan. tidak ada ketentuan bagi perusahaan melaporkan nominalnya (bantuan CSR). “Hal yang diperlukan adalah tim pengendali CSR daerah karena masih banyak perusahaan di Sumsel yang tidak menjalankan CSR nya. Diketahui (baru) perusahaan besar, BUMN, BUMD tetapi perusahaan-perusahaan yang lain belum menjalankan CSR nya dengan baik. Itu yang akan kami dorong supaya pengentasan kemiskinan dengan menggunakan dana CSR dari perusahaan bisa tepat sasaran dan terarah,” tegasnya sembari mengatakan jika tim pengendali nanti dibentuk oleh Gubernur yang terdiri dari OPD terkait dan dari Forum CSR.

Jika tim pengendali daerah sudah terbentuk, lanjut Rianthony, Forum CSR bisa melakukan intervensi kemudian bisa memberi rekomendasi sanksi administratif kepada perusahaan yang tidak menjalankan CSR nya dan tanggungjawab sosial dan lingkungan.

“CSR itu fungsinya adalah tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) dari perusahaan, dampak dari produksi atau operasinya perusahaan di wilayah tertentu. Nah perusahaan mempunyai kewajiban khususnya masyarakat di lingkungannya dan umumnya masyarakat sekitarnya. Kalau ada yang miskin itu dibantu. Terdampak dengan lingkungan, itu harus dibenahi,” lanjutnya.

Sayangnya, Rianthony menilai jika masih banyak perusahaan yang salah mengartikan CSR, sehingga cenderung menghindar dan terkesan ogah-ogahan. “Banyak perusahaan yang menganggap CSR itu beban, padahal tidak. Itu adalah investasi sosial daripada mereka mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Ada juga yang berfikir bahwa CSR itu adalah cara untuk membungkam mulut masyarakat, itu salah juga. Seharusnya mereka ciptakan program-program untuk masyarakat bisa berdaya,” ungkapanya.

Seharusnya, lanjut Rianthony, semua perusahaan harus memiliki dana CSR karena sudah menjadi kewajiban. “Itulah pentingnya tim pengendali daerah supaya kami bisa masuk (intervensi), sehingga bisa dilihat apakah mereka sudah melaksanakan kewajiban CSR nya. Untuk mengawal itu, forum CSR paling mendapatkan laporan dan mengkondisikan singkronisasi program supaya itu bisa membantu masyarakat (terdampak),” pungkasnya. (dfn)