Copet Makin Merajalela di Bus Kota

# Sopir dan Kondektur Seharusnya Lindungi Penumpang

 

PALEMBANG, SIMBURNEWS – Maksud hati ingin menghindari Operasi Zebra, 1-14 November 2017 dengan tidak membawa kendaraan pribadi, Bunga (bukan nama sebenarnya) nyaris menjadi korban copet saat naik bus kota jurusan Kertapati-Km 12. Saat Bunga bersama ibunya naik dari bus kota Kertapati-Km 12 dengan nomor lambung 367 di simpang Pamor 7 Ulu, Rabu (8/11) sekitar pukul 16.15 Wib.

Bunga dan ibunya naik dari pintu depan. Tiba-tiba seorang anak baru gede berkaus hitam dan celana pendek yang mengenali kondektur bus turun dari pintu belakang lalu naik lagi lewat pintu depan, memepet targetnya. Si Copet mulai membuka tas gendong yang dibawa Bunga.

Bunga pun tak sadar copet beraksi namun ibunya yang mengetahui langsung menepis tangan dan menggagalkan aksi pelaku. “Nah, nak ngapo kau buka tas anak aku,” ungkap sang ibu yang tak mau namanya disebutkan.

Sang ibu pun mengajak Bunga pindah duduk di kursi bagian depan. “Untung anak saya tidak apa-apa. (Penumpang) di kursi belakang tadi itu kelompok mereka (copet),” ungkapnya sembari melihat para pelaku turun di simpang Masjid Agung.

Pantauan Simbur di lapangan, di tengah kemacetan, kelompok copet diduga kembali beraksi di bus kota khususnya jurusan Kertapati-Km 12. Lokasi copet naik bus kota (dari Kertapati) diduga dari simpang Tugu KB, simpang tiga Masjid Agung, simpang IP, dan Pasar Cinde sebelum lampu merah Charitas. Sementara, dari arah Km 12 diduga copet naik dari simpang RM Pagi Sore (setelah lampu merah RS Charitas, seberang IP, simpang HAR (seberang Masjid Agung).

Diketahui, copet di Palembang kerap menggunakan kode atau bahasa sandi dalam melakukan aksinya. Misalnya, kijang (target pria), jengkol (berkacamata), ulai (polisi). Aksi mereka pun terorganisir, tidak dilakukan sendirian dan diduga mengenal kondektur serta sopir bus kota.

Menyikapi itu, Kapolresta Palembang, Kombes Pol Wahyu Bintono Hari Bawono mengimbau agar korban copet melaporkan ke Polsek atau Polres. Sebab, laporan itu yang menjadi dasar pihak kepolisian. “Maksudnya kami akan tahu, misalnya kalau laporan-laporan masyarakat kecopetan di daerah mana. Kami langsung turunkan tim untuk pantau dalam kendaraan atau yang lainnya,” ungkapnya, dikonfirmasi Simbur, Rabu (8/11).

Kapolresta mengimbau masyarakat yang pernah kecopetan agar datang (melapor) ke kantor polisi terdekat. “Karena hal itu berhubungan untuk penanganan kasusnya juga. Kalau misalnya pelaku tertangkap lalu mengaku beraksi di beberapa wilayah, tetapi ketika kami cek ke Polsek dan LP tidak ada, pada akhirnya hukumannya jadi tidak maksimal,” tambahnya.

Masih kata Kapolresta, upaya pencegahan baik berupa razia copet di bus kota. Wahyu mengatakan bahwa pihaknya akan melihat lebih dulu jam rawan kemudian lokasinya di mana. “Kalau ditambah adanya laporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), itu akan membuat kami lebih maksimal mencegahnya,” pungkasnya.

Masih kata Wahyu, walaupun setiap informasi dari masyarakat itu akan ditindaklanjuti, pihaknya juga melakukan upaya untuk memantau daerah-daerah rawan. Menurut dia, sebenarnya sudah ada anggota (ditempatkan di daerah-daerah rawan seperti terminal). “Makanya, kalau dibilang banyak copet, kami sudah berusaha juga,” ujarnya seraya menambahkan, copet tersebut memiliki kelompok. “Yang jelas mereka punya kelompok-kelompok dan itu yang kami dalami,” tegasnya.

Sementara itu, sosiolog Saudi Berlian mengatakan bahwa fenomena sosial terkait aksi copet memang sulit karena kejahatan akan terjadi kalau ada kesempatan dan juga terjadi krisis (moral). “Ini memang sulit tuntutannya. Untuk sekuritasnya (pengamanan) pertama dari sopir dan kernet (awak bus). Mereka bisa melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap aksi copet,” ungkapnya kepada Simbur.

Baginya, pihak pertama yang bisa melakukan upaya pencegahan terletak pada Organsisasi Angkutan Daerah (organda). “Bus kota itukan punya Organda yang seharusnya bisa efektif. Jadi bus kota itu punya cara pengamanan dalam dirinya. Organda yang mengedukasi awak bus kota untuk mengatasi hal tersebut. Kemudian, yang kedua adalah kepedulian sesama penumpang,” ungkapnya.

Menurut dia, sampai saat ini, belum terdengar peran atau upaya dari Organda untuk mengatasi fenomena sosial tersebut. “Untuk persoalan (copet), selama ini belum terdengar peran Organda bagi masyarakat. Paling tidak, dengan adanya peran Organda dalam hal ini awak bus kota. Mereka bisa menjadi mata dan telinga bagi pihak kepolisian. Paling tidak, mereka bisa mengurangi aksi kejahatan tersebut,” ujarnya.

Organda seharusnya menginisiasi dengan bekerjasama bersama kepolisian dan membuat sistem yang terintegrasi. Contohnya, ketika ada kejadian, sopir dan kernet bisa dengan mudah menghubungi polisi agar pelaku pencopetan bisa cepat diamankan. “Jadi, kepolisian dan organda seharusnya bekerjasama untuk memberi rasa aman bagi masyarakat. Dengan adanya sistem yang terintegrasi,” pungkasnya.

Diusulkan Saudi, jika memang sistem terintegrasi tersebut belum diterapkan di daerah lain, bagaimana jika pilot project-nya itu dimulai dari Palembang. Mungkin sistem tersebut bisa diujicobakan selama tiga bulan dan kemudian bisa dilakukan evaluasi. Dan, yang melakukan itu adalah kepolisisan, organda dan Dinas Perhubungan. “Yang jelas, copet tidak memandang situasi yang ada. Jika ada kesempatan tentu mereka akan melancarkan aksinya. Paling tidak, kewaspadaan semua pihak harus ditingkatkan,” tutupnya. (maz/mrf)