Kumpulkan Rektor

MEDAN, SIMBURNEWS – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir merencanakan akan mengumpulkan para rektor yang ada di tanah air. Tujuannya untuk membahas masalah radikalisme yang akhir-akhir ini menjadi ancaman terhadap bangsa dan negara.

“Radikalisme tersebut sangat berbahaya di lingkungan perguruan tinggi makanya akan diadakan pertemuan dengan para rektor di Jakarta,” kata Nasir, usai menghadiri Dirgahayu ke-30 Yayasan Pendidikan Perguruan Sultan Iskandar Muda di Medan, Sabtu (26/8), dilansir Antara.

Menurut Nasir, pertemuan dengan para rektor sebagai pimpinan perguruan tinggi penting dilaksanakan, mengingat perkembangan radikalisme yang terjadi dan cara-cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Kita tentunya tidak ingin masalah radikalisme itu terus berkembang dan juga ujaran kebencian. Hal tersebut dapat membahayakan di lingkungan kampus perguruan tinggi,” ujar Nasir.

Terkait  pertemuan yang dimaksud Menristekdikti, sebelumnya Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Dr Budi Djatmiko mengatakan, pihaknya tengah mempersiapkan Rembuk Nasional Pendidikan Tinggi. Pertemuan tersebut akan menghadirkan 1.000 pimpinan PTS dan Yayasan pada 28-29 November di Jakarta. “Kami berharap Presiden bersedia hadir,” ungkapnya kepada Simbur, Rabu (23/8).

Salah satu agenda pertemuan rektor nanti, kata dia, akan membahas isu radikalisme di lingkungan kampus sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Dijelaskan Budi, Aptisi bersedia mengilangkan radikalisme. Akan tetapi, jangan sampai mendeskriditkan agama tertentu dan menjatuhkan martabat pimpinan agama.

“Riset membuktikan yang ucapannya dapat dipercaya  oleh masyarakat adalah dosen/guru, ulama, dan mahasiswa. Sedangkan politikus dan pejabat tidak dipercaya masyarakat karena banyak oknum koruptor yang perilakunya tidak mencerminkan antara perbuatan dan perkataan,” tegas Budi.

Dikatakan Budi, dirinya sangat prihatin dengan kecepatan berpikir Presiden dalam menghadapi perubahan. “Akan tetapu tetapi tidak diikuti oleh jajaran kementerian dan eselon 1 dan 2, sangat lambat dan kurang adaptif dengan perubahan yang diharapkan Presiden,” tutupnya.(tim)

 

(Baca berita selengkapnya di surat kabar Simbur Sumatera edisi September 2017)