- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
- Jejak Melayu Jambi di Nganjuk, Hidup Damai Seribu Tahun
Dari Pelayan Warteg hingga Melayani Caleg
SEBUT saja namaku Matahari. Aku perempuan berusia tiga puluh tahun yang berasal dari Semarang. Kini aku merantau ke Palembang, meninggalkan suami demi membiayai sekolah anakku.
Hampir sewindu aku membohongi suamiku yang terkenal alim di kampungku. Aku mendustainya karena menutupi status dan pekerjaannku selama ini. Karena begitu percaya, suamiku mengira aku mengelola sebuah restoran milik bude di Kota Pempek. Suamiku tidak pernah mencari tahu apalagi menyelidiki keberadaanku di sini.
Tahun 2006 ketika aku baru lulus SMA, aku ingin mencari pekerjaan. Bude menawarkanku bekerja sebagai pelayan warung tegal (warteg) di Palembang. Karena himpitan ekonomi keluarga, maka terpaksa kutinggalkan Semarang. Mulanya aku tinggal dan bekerja di warteg Bude yang berada di Km 11. Entah kenapa, belum sebulan bude menyarankanku mendapat pekerjaan yang lebih layak. “Kamu cantik, tidak cocok kerja di warteg, baiknya di hotel,” ujar Bude kala itu.
Aku pun tersanjung hingga seorang lelaki tampan, necis, dan perlente membawaku dengan sedan putih ke sebuah hotel di Jl Kol H Barlian, tepatnya tak jauh dari hutan wisata. Ternyata, di sana keperawananku direnggut. Aku dipaksa melayani tamu hotel. Karena paling cantik, aku dipaksa melayani banyak lelaki hidung belang, sampai kemaluanku robek dan aku pingsan akibat pendarahan.
Aku ingin pulang ke Semarang. Tapi mami tak membiarkanku keluar dari akuarium dan kamar hotel. Aku harus melunasi utang atas biaya perjalanan dari Semarang dan biaya hidup selama di Palembang. Karena sering sakit, akhirnya aku dijual ke sebuah losmen di jalan menuju dinas kebersihan kota ini. Di sana aku mulai menabung dan mengumpulkan uang agar bisa pulang ke kampung halaman.
Pelanggan dan tamu setia selalu mengunjungiku. Perempuan sepertiku banyak menyimpan rahasia negara karena tamu-tamuku dari kalangan pejabat hingga aparat sering curhat saat mereka melenguh bagai keledai dungu dalam pelukanku. Bahkan, tamuku banyak juga wartawan.
Tamuku lainnya seorang calon legislatif (caleg) yang sering muncul di koran lokal. Dia sering menghubungi nomor ponselku 0821812xxxxx dan mem-booking-ku di hotel lain di kawasan Jl Rajawali. Biasanya, sekali short time aku hanya mendapat Rp100 ribu dari tarif losmen Rp300 ribu/jam. Namun, jika tamu caleg mengajakku keluar losmen, dikenakan charge dengan tarif Rp700 ribu hingga Rp1 juta long time. Caleg itu sering memberikan tips lebih padaku. Sayang, dia sudah beristri dan anaknya sudah beranjak remaja.
Dari uang yang terkumpul selama dua tahun, pada 2008 aku pulang ke Semarang. Aku dijodohkan oleh keluargaku dengan pemuda keturunan Timur Tengah yang kini menjadi suamiku. Aku pun dilamar, menikah. Saat malam pertama, suamiku pernah bertanya mengapa darah dari selaputku tidak berwarna merah padahal ukuran dan diameternya lumayan. Spontan aku bilang bahwa tongkat ali sudah terlalu dalam menancap di dasar bumi. Syukur ia tidak terlalu mempersoalkan itu.
Akhirnya, aku lelah bersandiwara. Aku istri durhaka yang mengkhianati suamiku dan suka selingkuh. Aku akan mengatakan hal sebenarnya agar suamiku mendapat perempuan baik-baik. Aku tak mungkin mengejar tamuku yang caleg itu, karena dia sudah gila akibat kalah dalam pemungutan suara. Aku hanya ingin membesarkan anakku dengan membawanya ke Palembang. Maafkan aku suamiku.(*)
……………………….
Baca terus kisah nestapa wanita di rubrik Kudeta (Selingkuh Depan Mata)
Hanya di surat kabar Simbur Sumatera



