Jika Hanya Dijadikan Kedok, Orang Tak Akan Menghargai

# Di Bawah Kibaran Revolusi Hijab

 

PALEMBANG, SIMBUR– Walau hijab menjadi salah satu akidah penting dalam ajaran agama Islam, namun tidak sedikit muslimah yang belum memantapkan hatinya untuk menjadikan hijab sebagai bagian dari kehidupannya. Masih terbilang banyak muslimah yang memposisikan hijab hanya sebagai kebutuhan fashion dan tren semata.

Komite Hijabers Palembang, Raudhatun M Esa kepada Simbur berpendapat jika selama itu dilakukan adalah baik, setiap orang seharusnya mendukung setiap perempuan yang berhijab walaupun hanya sementara. “Menurut pribadi saya, sebenarnya kalau niat awalnya hanya mengikuti mode atau ala-ala (sementara), kan kita tidak pernah tahu hidayah itu datangnya kapan. Selama untuk kebaikan sih kenapa tidak. Karena ada juga yang awalnya hanya coba-cba dan akhirnya tidak dilepas lagi (hijabnya). Kalau seandainya memakai hanya sekedar bulan puasa saja, yah itu urusan dia dengan Tuhan. Tapi saya pribadi tidak pernah mengecap orang lain karena setiap orang memiliki pilihan masing-masing,” ujarnya dikonfirmasi Simbur, Senin (29/4).

“Kalau lebih baik, itukan bagus,” tambahnya dan berpendapat karena yang namanya mode itu pilihan setiap orang mau mengikuti atau tidak.

Terkait oknum yang mengenakan hijab namun tidak sesuai dengan perbuatannya, dirinya menegaskan jika itu bukan salah jilbab atau hijabnya tetapi salah orangnya, sifatnya, atau perbuatannya. “Jadi kalau misalnya orang berpikir ada pejabat menggunakan hijab tapi korupsi, yang salah orangnya bukan hijabnya. Itu bukan pelecehan terhadap hijab melainkan pelecehan terhadap dirinya sendiri, karena berbuat baik atau buruk itu akan berdampak pada citra diri sendiri,” lanjutnya.

Kalau ada artis yang awalnya tidak berhijab, lanjut dia, terus saat bermasalah dengan hukum tiba-tiba berhijab, itu masyarakat sudah bisa menilai kemungkinan hanya kedok saja (kamuflase). “Kembali lagi pada situasi dan kondisinya, kalau memang tujuannya untuk itu (kamuflase) orang juga tidak akan respek,” tambah perempuan yang bercita-cita ingin ke 30 negara sebelum berusai 30 tahun itu.

Sementara, Anggota Komite Hijabers Palembang, Raudhatun M Esa S I Kom yang juga merupakan salah satu enterprenuer Palembang, menyayangkan jika diskriminasi terhadap muslimah berhijab masih terjadi sampai saat sekarang.

“Secara pribadi sebenarnya itu tidak adil, karena di Indonesia Muslim sebagai mayoritas. Kecuali perusahaan itu berdomisili di negara dimana muslim sebagai minoritas. Tapi itu kan jaman dulu, kalau sekarang sudah mulai membaur. Di perbankan juga hanya hampir semua membolehkan perempuan berhijab untuk bekerja,” kata Raudha.

Tapi, lanjut Raudha, semuanya kembali ke pribadi masing-masing. Seandainya ingin bekerja di salah satu perusahaan namun tidak dibolehkan berhijab, sebaiknya muslimah bersangkutan mencari pekerjaan lain saja, sehingga tidak terjebak pada satu pekerjaan saja.

“Kalau perusahaan yang tidak membolehkan perempuan berhijab bekerja itu bisa ditinjau kembali, kenapa tidak. Kalau seandainya sudah ditinjau tetapi masih bersikeras dengan aturannya, tinggal dilihat saja itu sampai kapan bertahan,” ketusnya.

Sebagai seorang muslimah berhijab, Raudha menganggap dunia bisnis bukanlah dunia tertutup bagi para hijabers. Karena justru dengan hijab dan penampilan yang rapi, orang akan memberikan respon yang lebih baik dibanding dengan menggunakan pakaian yang lebih terbuka dan tidak menutup aurat.

“Di dalam bisnis, seorang muslimah itu tidak harus seksi. Dengan penampilan menggunakan jilbab dan rapi, itu pun bisa. Justru menurut saya itu jadi nilai tambah di mata relasi bisnis. Berhijab tidak menjadi kendala dalam berbisnis, malah menurut saya justru hijab itu menjadi pembeda bahkan memudahkan. Dibanding dengan berpenampilan seksi, dengan berhijab dan rapi orang akan lebih segan, sopan dan memperlakukan muslimah dengan baik,” pungkasnya. (dfn)