- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
- Jejak Melayu Jambi di Nganjuk, Hidup Damai Seribu Tahun
Negara Rugi Triliunan Rupiah
// Akibat Perburuan Satwa Liar
PALEMBANG, SIMBURNEWS – Maraknya perburuan satwa liar khususnya di Sumatera Selatan (Sumsel), secara tidak langsung bukan hanya berdampak pada ekosistem lingkungan. Hal tersebut sampai merugikan negara triliunan rupiah per tahunnya. Hal itu disampaikan Jaksa Muda Kejagung RI Ricardo Sitinjak SH MH selaku Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Sumber Daya Alam Lintas Negara (SDA-LN) usai pemusnahan ofsetan satwa di Kantor BKSDA Sumsel, Rabu (7/2).
Menurutnya, perburuan satwa liar marak terjadi karena harga pasarannya terbilang tinggi. Bahkan, dirinya tidak menampik jika tidak menutup kemungkinan jaringan pelaku adalah jaringan lintas negara. “Memang perdagangan lintas negara banyak dilakukan, khususnya perdagangan trenggiling, perdagangan babi lobster dan termasuk cula badak. Itu banyak dilakukan karena harganya sangat mahal. Satu cula badak itu beratnya 200 gram dan satu gram itu harganya Rp 20 juta. Jangan salah, (perdagangan) satwa liar itu merugikan negara triliunan rupiah per tahun,” ungkapnya.
Masih kata Ricardo, saat ini, sudah banyak sekali pemain lama yang ditangkap, dan Kajagung RI tidak main-main dan memberikan tuntutan (hukuman) yang tinggi. “Jika dilihat Undang-Undang (UU), hukuman terkait hal itu maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Tetapi sekarang, untuk satu ekor trenggiling saja kami menuntut hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta,” ujarnya.
Diindikasikan sambung Ricardo, penggelapan satwa liar memiliki jaringan yang lebih luas, makanya peran serta kita khususnya penegak hukum yang terkait harus solid bersama-sama dengan NGO, WCS, JSL dan seluruh masyarakat Indonesia. Artinya, habitat itu harus dilindungi karena itu merupakan lingkungan di daerah kita sendiri.
“Ini memang pemusnahan yang pertama kali dilakukan di Sumsel. sebelumnya, pemusnahan sudah kami lakukan di delapan tempat antara lain di Medan, Padang, Bengkulu, Sumsel,” sambungnya sembari menginformasikan jika untuk Riau dan Jambi, karena barangnya sangat banyak, maka pemusnahan akan dilakukan secara bersamaan di Jakarta 27 Februari mendatang.
Ricardo juga memastikan, jika perdagangan satwa liar tetap menjadi perhatian Kejagung RI, seperti pasar yang banyak menjual satwa liar yang sudah diawetkan. Ada sekitar 290 jenis hewan yang dilindungi, dan itu harus diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Untuk masyarakat Sumsel sendiri, mau tidak hutan dan satwanya lestari. Semua itu harus dilestarikan demi anak cucu kita agar mereka juga bisa menikmati alam ini. “Saat ini populasi satwa liar di Sumsel sudah sangat parah sekali,” ujarnya.
Senada, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, Genman S Hasibuan mengatakan barang offsetan yang dimusnahkan berasal dari masyarakat yang mulai sadar setelah dilakukan sosialisasi dan penegakan hukum.
“Jenis yang diserahkan totalnya 33 unit. Jika diuangkan sebenarnya itu susah untuk diprediksi karena itu adalah hobi. Jadi terkait itu, bisa saya bilang tidak bisa dihitung. Namun, yang jelas jika diuangkan, nilainya sangat mahal,” ucapnya.
Bagi kami orang konservasi kata Genman, nilai itu tidak bisa dihitung. Karena jika satwa itu mati, berapa banyak potensi-potensi jenis satwa tersebut yang seharusnya bisa dinikmati, jadi tidak bisa dinikmati lagi. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah lingkungan, ekologi dan lain-lain. “Barang yang diperoleh itu berasal dari masyarakat, tidak ada dari perusahaan. Untuk perusakan habitat satwa liar di Sumsel, saya pikir semua bisa melihat bahwa semua hutan penuh dengan ancaman perubahan fungsi, baik itu menjadi pemukiman, perumahan dan lain-lain,” ungkapnya.
Untuk upaya pencegahan, selama ini pihaknya terus melakukan sosialisasi atau pendekatan persuasif kepada masyarakat. “Dengan itu, kami mencoba untuk mengidentifikasi daerah mana saja yang rawan terjadi kegiatan perburuan liar. Selain itu, petugas juga langsung turun ke lapangan. Dengan begitu, diharapkan kegiatan tersebut secepatnya bisa diidentifikasi oleh petugas,” lanjutnya.
Terkait banyaknya perusahaan yang membuka lahan di Sumsel, Genman menegaskan kalau perusahaan yang melakukan, pihaknya tidak akan main-main dan akan menindak tegas jika ada yang menyalahi aturan. Hanya saja, sampai sekarang belum ada perusahaan yang membuka lahan tidak sesuai dengan aturan. “Yang jelas, untuk hutan konservasi, perusahaan manapun termasuk masyarakat tidak boleh (membuka lahan). Itu sudah menjadi kewenangan kami,” tegasnya. (mrf)



