- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
- Jejak Melayu Jambi di Nganjuk, Hidup Damai Seribu Tahun
Kutuk Keras Penyiksaan Terdakwa
PALEMBANG, SIMBURNEWS – Surat terbuka berisi ungkapan kekecewaan keluarga Rian Nopriansyah alias Ucok di media sosial menjadi viral. Rian alias Ucok salah satu terdakwa kasus pengeroyokan antar suporter yang menyebabkan adanya korban jiwa beberapa waktu lalu. Postingan tersebut telah menarik perhatian seluruh pihak, bahkan beredar isu jika Komnas HAM dan Kontras akan mengunjungi Ucok di lembaga pemasyarakatan (lapas) Pakjo.
Salah satu poin yang menjadi konsumsi publik yaitu adanya dugaan tindakan atau penyiksaan terhadap Ucok yang dilakukan agar mengakui perbuatannya. Terkait hal itu, Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) kota Palembang, Hj Nurmala SH MH mengatakan jika memang ada tindakan seperti itu dan bisa dibuktikan di pengadilan banding, maka bisa saja hal itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan Berita Acara Pidana (BAP) bisa menjadi cacat hukum. Hal itu disampaikan Nurmalah saat dikonfirmasi Simbur, Kamis (1/2).
“Kita ini kan menganut asas praduga tak bersalah. Tidak boleh lagi terjadi penyiksaan terhadap terdakwa. Sebenarnya hal itu sudah sangat langka dan tidak ada lagi penyiksaan-penyiksaan. Jika itu bisa dibuktikan secara fisik di persidangan, terdakwa mencabut keterangan yang pernah diberikan dengan memberikan alasan-alasan yang logis yang dikaitkan dengan bukti pemeriksaan fisik ketika diperiksa, itu bisa dipertimbangkan oleh hakim. Jika memang ada tindakan penyiksaan, bisa dilaporkan secara pidana atau disiplin (etika) di Propam Kepolisian,” ujarnya sembari menambahkan jika memang ada bukti visum penyiksaan, bisa dilaporkan ke Ditreskrimum. “Polisi itu pejabat sipil sehingga bisa dilaporkan secara pidana atau disiplin,” terangnya.
Selain itu, kata Nurmala, dalam pemeriksaan awal, apalagi ancaman hukumannya tinggi, maka tersangka harus didampingi oleh penasihat hukum dan diatur dalam pasal 56 KUHAP. “Jadi, jika tidak didampingi kuasa hukum pada saat itu apalagi ada penyiksaan, maka itu melanggar hak asasi manusia (HAM). BAP bisa cacat hukum. Kasus BAP cacat hukum itu bisa dilihat dari kasus Marsinah beberapa tahun lalu. Terbukti ada penyiksaan-penyiksaan dan yang bersangkutan tidak didampingi penasihat hukum. Seharusnya, fakta-fakta dugaan penyiksaan itu diajukan sejak awal persidangan dengan menyodorkan bukti-buktinya,” ungkapnya.
Walaupun tidak tidak mengikuti materi persidangan atau fakta persidangan, namun jika memang merasa tidak bersalah atau menurut versi pihak Ucok dakwaan jaksa atau tuntutan hakim tidak sesuai, itu masih ada upaya hukum seperti banding, kasasi. Untuk sementara ini dia bisa melakukan upaya hukum banding, karena di pengadilan banding adalah peradilan ulangan. Jadi, perkara akan diperiksa secara keseluruhan walaupun terdakwanya tidak dihadirkan, tetapi fakta-fakta yang terungkap di persidangan akan digali secara menyeluruh oleh hakim tingkat banding. Jika hakim menganggap (dakwaan) tidak terbukti, maka bisa saja dia bebas, atau hukuman terlalu berat.
“Jadi, langkah hukum pertama yang bisa dilakukan adalah dia harus melakukan upaya hukum banding. Nah, tinggal kuasa hukum terdakwa yang akan menyusun memori bandingnya untuk menyampaikan isi putusan yang tidak sesuai. Nanti hakim yang memberikan putusan apakah menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) sebelumnya atau membatalkan,” tambahnya.
Walau tidak terlibat secara langsung dalam peradilan kasus tersebut, Namun Nurmala yang mendapat informasi melalui grup media sosial Peradi itu mengatakan agar kuasa hukum yang bersangkutan mengajukan banding agar itu (kasus) bisa dibuka kembali. Menurut dia, hakim banding itu bisa mempersidangkan kembali dengan menghadirkan sanksi-saksi, bahkan bisa memberikan bukti tambahan.
“Bagi saya, jika memang ada dugaan tindakan kekerasan atau lainnya, seorang pengacara pasti melakukan upaya-upaya hukum, harus melakukan pembelaan secara maksimal. Saya juga akan mencoba meminta laporan kasusnya seperti apa, dan memberikan masukan kepada kuasa hukum yang bersangkutan tentang langkah-langkah apa yang mesti dilakukan,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, usai Ucok divonis delapan tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, adiknya, Aldo Aprialdi melalui akun facebook memposting bantahan jika Ucok bersalah.
Selain menuding polisi salah tangkap, Ucok juga mengungkapkan bagaimana penyiksaan yang dia terima agar mengakui hal yang tidak dia lakukan. Walau sempat menolak, namun akhhirnya Ucok menyerah saat ditodong senjata.
Dirinya mengatakan bahwa jika sudah mendapatkan vonis dari PN, maka itu sudah final, serta apa yang dilakukan Polisi baik itu tahap penyelidikan, penyidikan, hingga pelimpahan berkas perkara ke pengadilan dan disidangkan semua sudah melalui prosedur yang berlaku.
Diwartakan sebelumnya, kasus Ucok bermula saat tawuran antarwarga Sukawinatan dengan kelompok suporter sepak bola di Jl Noerdin Pandji, kawasan Sukawinatan, 1 Juli 2017 lalu. Bentrok tersebut berbuntut panjang. Rian alias Ucok (27) yang merupakan salah satu suporter Singa Setan Pasis (Pasukan Singa Sukabangun Ikotik) ditangkap pada 5 Juli 2017 oleh anggota Polresta Palembang karena diduga terlibat dalam tawuran hingga menewaskan salah satu suporter.(mrf)



