Cegah Penyimpangan Seks sejak Dini

PALEMBANG, SIMBURNEWS – Maraknya perilaku seksual anak-anak yang menyimpang, kian hari semakin mengkhawatirkan. Kondisi itu diperparah
dengan kurangnya sosialisasi tentang pendidikan seksual karena bagi sebagian masyarakat. Hal itu tabu untuk diumbar di depan umum.

Yang menjadi salah satu faktor pendukung perilaku menyimpang tersebut. Ditambah dengan kurangnya peran orang tua yang seharusnya menjadi orang pertama yang mengajarkan anak-anak tentang hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Apalagi, kurangnya pengetahuan agama sehingga baik dan buruk perilaku tersebut tidak lagi memiliki batasan.

Seperti disampaikan salah satu pemateri pada seminar publik tentang pentingnya pendidikan seksual di dalam keluarga yang berlangsung di Balai Kota Palembang, Senin (18/9), dr Erfiana Umar MKes bahwa pendidikan seksual itu harus dimulai sejak dini bahkan anak usia nol sampai dua tahun sudah harus dikenalkan dengan anggota tubuh mereka khususnya bagian alat reproduksi.  “Pendidikan seks harus dimulai dari keluarga karena itu memang harus dimulai dari usia dini, sesegera mungkin mulai dari umur 0 sampai 2 tahun. Setidaknya,
anak-anak harus sudah mengetahui bagian-bagian tubuhnya khusus alat
reproduksi (kelamin) sudah harus diperkenalkan denga bijak,” ungkap dokter yang juga menjabat sebagai wakil ketua IV TP PKK Kota Palembang.

Menurut, dr Erfiana, jika anak sudah memasuki usia sekolah maka yang lebih berperan adalah gurunya. Namun, bukan berarti orang tua bisa lepas tangan, mereka justru harus menjadi
kontrol atas segala pengetahuan yang diperoleh di lingkungan. “Orang tua harus membuka kran komunikasi dan dilakukan secara intensif terutama pengetahuan seksual,” ujarnya.

Ditambahkan Erfiana, jika dasar pengetahuan seksual anak sudah kuat dan ilmu agama yang kuat, maka risiko perilaku menyimpang tersebut bisa dicegah sebab anak sudah mengerti apa yang baik dan yang buruk untuk dilakukan. Jika dari kecil, mindset anak sudah dibentuk dengan
baik, maka anak tersebut sudah bisa dilepas ke lingkungannya bahkan ketika anak sudah dengan mudah mengakses media sosial.

“Gadget mungkin jangan diberikan kepada anak di bawah lima tahun. Lima sampai 12 tahun itu harus dengan pengawasan orang tua, di usia remaja itu harus dibatasi jamnya,” tambahnya.

Menurutnya, saat ini Palembang sudah bisa dikatakan hampir menghadapi masa kritis karena menurut data dari KPAI, hampir setiap hari menerima
laporan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Walaupun, yang terekspos di masyarakat terbilang kecil jumlahnya.
Selain itu, hubungan intim yang dilakukan orang tua jangan sampai terlihat oleh anak khususnya anak usia nol sampai lima tahun.

“Di usia 5 tahun anak harus pisah ranjang dengan orang tuanya. Namun, masalah muncul ketika rumah atau tempat tinggal keluarga itu tidak memiliki
kamar dalam arti seluruh keluarga berada di satu ruangan yang sama. Hal tersebut sangat rentan terjadinya hubungan intim antar keluarga (inses),” tutupnya.

Di tempat yang sama, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palembang, dr Hj Letizia Mkes yang juga sebagai pemateri mengatakan, jika salah satu
persoalan mendasar karena selama ini masalah seksual masih dianggap sesuatu yang tabu, padahal banyak sekali terjadi kejahatan seksual di masyarakat baik itu pelecehan, kekerasan terhadap anak atau kasus perkosaan. “Semoga apa yang disampaikan oleh narasumber bisa diteruskan oleh peserta kepada keluarga atau anak-anaknya masing-masing,” ujarnya.

Dilanjutkan Letizia, kegiatan seperti ini sangat baik dan mungkin bisa juga dilakukan di sekolah-sekolah dalam bentuk penyuluhan atau yang
lain. “Kami juga dari puskesmas sudah memiliki program kesehatan reproduksi yang sudah disosialisasikan kepada masyarakat. Disamping itu, kami juga sudah punya ruangan khsusus untuk konsultasi bagi remaja yang memiliki masalah. Selain itu, kami juga melatih kader-kader yang ada di sekolah. Dengan terlibatnya siswa SMP atau SMA, mereka nantinya bisa dijadikan tempat konsultasi bagi teman sebaya,” ungkapnya.

Sebagai bagian dari pemerintah kota Palembang, dirinya menyambut baik seminar yang diinisiasi oelh Womens’s Crisis Center (WCC). Apalagi menurutnya, kegiatan serupa jarang dilakukan dan semoga bisa langsung tersosialisasi. Pasalnya, selama ini marak sekali pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan terhadap anak yang tidak disadari bahwa itu menjadi masalah. Pemerintah ikut menanggulangi agar kejahatan seksual jangan sampai semakin meluas sehingga merusak generasi muda.

“Apalagi akses media yang sangat mudah dan sulit sekali dikontrol. Di media sosial juga banyak sekali penjahat seksual. Tanggung jawab kita, pendidik disekolah maupun pemerintah tokoh agama dan masyarakat sangat penting,” singkatnya.

Sementara, Prof Jalaluddin mencoba melihat persoalan dari sudut pandang moralitas dengan mengkaitkan perilaku menyimpang tersebut dengan agama Islam. Baginya, pendidikan seksual sudah ada dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa dorongan seksual merupakan bagian dari fitrah manusia seperti yang tertuang dalam Alquran 3: 14.

“Pendidikan seks  berhubungan dengan misi pemeliharaan keturunan. Oleh sebab itu pendidikan seks ini merupakan bagian dari kewajiban agama,
yang dibebankan kepada kedua orangtua,” pungkasnya. (mrf)