- Jika Pemda Gelar Program Makan Bergizi Gratis, Pj Gubernur Sumsel: APBD Harus Direvisi
- Jaksa Tolak Eksepsi Terdakwa Penembakan di Kalidoni
- UMP Sumsel 2025 Sebesar Rp3.681.571, Naik 6,5 Persen atau Rp224.697
- Warga Keluhkan Nilai Ganti Rugi Pembebasan Lahan Tol Kapalbetung
- Audiensi dengan Wamenpora, Siwo PWI Pusat Siap Gelar Seminar Evaluasi PON
Donald Trump Akan Lebih Konservatif terhadap Indonesia
JAKARTA, SIMBUR – Presiden Donald Trump yang akan berkuasa mulai Januari 2025 akan membawa Amerika Serikat lebih konservatif terhadap berbagai negara termasuk Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari pengalaman empat tahun saat ia berkuasa, yakni dari 2017 hingga 2021.
Meski demikian realitas baru dunia saat ini antara lain China lebih kuat dan Timur Tengah masih penuh konflik akan membawa Trump lebih pragmatis. Sementara kebijakannya ke Timur Tengah dapat disebut akan lebih merugikan Palestina karena Trump cenderung memihak Israel. Demikian salah satu benang merah Seminar Internasional bertema “The United States Under President Donald Trump: Implications for the World and Indonesia” yang digelar secara online, Jumat (15/11).
Seminar dibuka oleh Wakil Dekan FISIP UMJ Dr Lusi Andriyani mewakili Dekan Prof Evi Satispi yang berhalangan hadir. Selain dari Indonesia, seminar secara online itu diikuti peserta dari Yaman dan Malaysia dengan jumlah peserta lebih dari 55 orang.
Seminar itu menghadirkan empat panelis, yakni mantan Dubes RI untuk Bulgaria Bunyan Saptomo, Direktur Asia Middle East Center for Research and Dialogue (AMEC) Muslim Imran, dosen Ilmu Politik FISIP UMJ Ella Syafputri Prihatini PhD, dan pakar geopolitik dari Yaman Khaldoon Ahmed Hasson Abdulla dengan moderator Dr Asep Setiawan dari UMJ.
Mantan Dubes RI untuk Bugaria menjelaskan, indikasi lebih konservatif kepemimpinan Donald Trump tampak dari pengalaman ketika dia berkuasa pada 2017-2021. “Saat itu Donald Trump berbeda dengan Presiden Barack Obama yang menjadikan Asia sebagai salah satu prioritas politik luar negerinya,” ujarnya.
Trump pada saat berkuasa mundur dari persetujuan internasional Trans-Pacific Partnership Agreement (TPPA), Paris Agreement on climate change, dan kesepakatan nuklir Iran. Ke depan AS di bawah Trump akan memfokuskan kepada perdagangan bilateral, meningkatkan anggaran militer, dan lebih keras terhadap China. Trump juga menjadi pendukung kuat Israel dalam konflik di Timur Tengah, termasuk pada masa Trump pula Yerusalem diakui AS sebagai ibu kota Israel.
Neo konservatif
Sementara itu Ella Syafputri Prihatini PhD dari Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ memberikan pandangan tentang tren pemerintah AS yang lebih konservatif, bahkan disebut sebagai neo-konserfatif 2.0. yang akan lebih memfokuskan kepada kepentingan AS di dalam dan luar negeri.
Ella menyebutkan Marco Rubio yang ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri. Dia dikenal sebagai orang yang bersikap keras kepada China dan Iran.
Dalam khasanah studi internasional, lanjutnya, kebijakan yang bersifat neo konservatif memiliki kecenderungan menyelesaikan masalah secara militer. “Selain munculnya penggunaan kekuatan yang lebih banyak serta diterapkannya liberalisasi ekonomi,” jelasnya.
Selain itu terdapat penunjukan Pete Hegseth sebagai Menteri Pertahanan yang juga dikenal cukup keras meskipun latar belakangnya adalah pengasuh sebuah program di Fox News dan veteran Army National Guard, sementara Elise Stefanik yang ditunjuk sebagai Dubes AS di PBB dikenal sangat pro Israel dan kurang berpengalaman di bidang diplomasi.
Pragmatis
Sementara itu Muslim Imran, Direktur Asia Middle East Center for Research and Dialogue (AMEC), think thank yang berkantor di Kuala Lumpur, menjelaskan, mengkaji kiprah AS perlu mendasarkan diri pada pandangan bahwa AS tetap ingin menjadi kekuatan hegemoni.
“Oleh karena itu siapapun yang berkuasa menjadi Presiden di Amerika, menurut dia kebijakannya akan sama, yakni menjadi kekuatan yang dominan di dunia,” katanya.
Muslim Imran juga menilai, AS dibawah kepemimpinan Trump akan menerapkan kebijakan pragmatis sesuai dengan kepentingan politiknya karena adanya politik transaksi di dalam negeri.
Khusus terkait kebijakan luar negeri Presiden Trump ke Timur Tengah, dia akan melanjutkan pendahulunya, dimana AS memiliki posisi mendukung sepenuhnya Israel. Namun, kata Muslim, Trump menghadapi masalah baru, dimana Timur Tengah sedang bergolak.
Sementara itu pengamat geopolitik dari Yaman, Khaldoon Ahmed Hasson Abdulla menjelaskan, kebijakan khusus Trump terhadap China merupakan salah satu ciri pemerintahannya. Dalam empat tahun berkuasa, Trump memberlakukan bea masuk barang China berlipat ganda sehingga terjadi apa yang disebut perang dagang.
Khaldoon juga mengemukakan, salah satu kebijakan Trump yang akan menjadi perhatian dunia adalah terkait dengan masalah Laut China Selatan. Trump akan menyuarakan kepentingan AS agar Laut China Selatan tetap bebas dan terbuka.
Khusus terkait kebijakan terhadap Indonesia, lanjutnya, AS masih menaruh kepentingan terhadap Indonesia di bidang perdagangan. Oleh karena itu masih terbuka kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan perdagangannya dengan Amerika.(rel/smsi)