- Satu Warga Probolinggo Tewas Tertimpa Pohon Tumbang
- Diapresiasi Ketua KPPU RI, Dandim 0402 Sebut Pembangunan Koperasi Merah Putih di OKI Sudah 83 Persen
- Menhan dan PWI Pusat Agendakan 200 Wartawan Ikut Retret di Akmil Magelang
- Jelang Pergantian Tahun, Pemerintah Percepat Pemulihan Bencana Sumatera
- Dianiaya di SPBU, Istri Almarhum Ketua SMSI Musi Rawas Polisikan Tetangga
Pasal Karet UU ITE Bertolak Belakang dengan Kemerdekaan Pers
PALEMBANG, SIMBUR – Kriminalisasi dan pemidanaan jurnalis akibat jerat pasal karet Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bertolak belakang dengan Undang-Undang Pers No 40/1999. Karena itu, revisi terhadap UU ITE mendapat respons dari banyak pihak, khususnya insan pers, demi menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan hukum berkeadilan.
“Pemidanaan jurnalis dan media pada 2018 dan 2019 menjadi yang tertinggi. Pasal-pasal karet (UU ITE) ini jelas bertolak belakang dengan kemerdekaan pers berdasarkan UU Pers,” ungkap Sukamta M Miharja, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PKS saat Webinar PWI: Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE, Rabu (10/3).
Sukamta mengatakan, terdapat sejumlah pasal karet pada UU ITE meliputi pasal 27 ayat 1 dan 3, pasal 28 ayat 2, pasal 29, pasal 40 ayat 2a dan 2b, serta pasal 45 ayat 3. Dia pun mengutip empat poin pandangan Presiden Joko Widodo terkait UU ITE. Ditegaskannya, regulasi tersebut dianggap tidak bisa memberikan rasa keadilan. Oleh sebab itu, Presiden telah meminta DPR untuk merevisi UU ITE. Pandangan itu meliputi UU ITE, rasa keadilan, hulu permasalahan, dan revisi.
“Keempat pandangan Presiden ini sudah sangat clean and clear. Saya menyampaikan bahwa secara umum revisi ini sejalan dengan pandangan kami. Sejak awal kami sudah menyambut baik revisi ini. Kami harapkan betul ini bisa direalisasi. Kami harap Presiden konsisten walaupun ada dinamika di tataran bawahnya. Kami tidak berharap revisi hanya interpretasi saja,” tegasnya.
Wina Armada Sukardi moderator pada webinar itu mengatakan, asal muasal UU ITE tidak ditujukan yang bersifat hukum tapi lebih mengarah kepada pengaturan perdagangan. “Karena itu, namanya transaksi elektronik. Sanksi yang dimasukkan ke dalam UU ITE ini sebenarnya hanyalah sampiran, pelengkap saja. Justru yang pelengkap ini yang menjadi masalah sehingga menyebabkan kemerdekaan pers dan kebebasan menyatakan pendapat tersendat,” selorohnya.
Demikian diungkap Ismail Fahmi PhD, pakar IT direktur PT Media Kernels memaparkan bahwa media pers memegang peranan sangat penting. “Ketika ada pro dan kontra informasi, media (pers) berada di tengah,” ujarnya.
Ismail Fahmi memaparkan, berdasarkan laporan SAFEnet selama 2017—2020 terdapat 184 laporan kasus pemidanaan dari UU ITE. Profesi yang dilaporkan terdiri dari 37,5 persen (69) berasal dari kelompok kritis seperti jurnalis/media (19), aktivis (24), dosen/guru (19), buruh (7), sedangkan 56 persen (103) berasal dar warga biasa.
Sementara, profesi yang melaporkan 68 persen (42 persen memiliki kekuasaan, 22 persen kalangan profesi, dan 4 persen kalangan berada), serta 23 persen perlapor berstatus warga biasa. Pasal dalam laporan 40 persen (74) terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, serta 27 persen (49) terkait ujaran kebencian.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari menambahkan, kerap terjadi keluhan terkait implementasi UU ITE. “Regulasi apa yang pas untuk menjawab perkembangan digital ke depan,” ungkap Atal saat membuka webinar.
Terkait revisi yang akan dilakukan dalam UU ITE, Asep Warlan Yusuf pakar hukum menjelaskan, kalau ada perubahan, bukan hanya berupa pasal, tapi ada nilai yang dilekatkan pada pasal itu. “Kalau tidak, budaya hukum yang baru tidak ada efektif. Benarkah perubahan ini dapat membuat kepastian hukum yang baru,” harapnya.
Menurut Asep, demokratis mendekati keseimbangan antara pemerintah dan warga negara. “UU ITE hadir untuk menjaga keseimbangan antara negara dengan warga negara,” terangnya.
Berbeda diungkap Dr Wawan H Purwanto, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN). Menurut dia, media sosial (medsos) bagai pedang bermata dua. Di satu sisi medsos wahana informasi secara cepat. Di satu sisi medsos menjadi media untuk menyebar fitnah, hoaks dan perlu ditertibkan. Dikatakannya pula, pemerintah dan DPR menginisiasi UU No11/2008 tentang ITE. Pemerintah menilai banyak masyarakat yang saling melapor ke kepolisian dari UU tersebut. “Perlu dipertimbangkan (revisi UU ITE) karena pesatnya pengguna internet. Pemanfaatan ruang digital belum dimanfaatkan secara maksimal,” jelasnya.
Wawan menambahkan, Indonesia menempati Indonesia urutan 29 dari 30 negara yang tidak sopan bermedia sosial dan paling tidak sopan di Asia tenggara. Lanjut dia, pada tingkat yang lebih ekstrem dapat memicu genosida. Beberapa peristiwa yang dapat memicu seperti yang terjadi di Kendari Sultra beberapa tahun lalu. “Kehadiran UU ITE perlu dimaknai secara positif. Amandemen UU ITE perlu disikapi secara hati-hati untuk menyelaraskan antara hak berekspresi dan menciptakan ruang digital yang sehat. Jangan sampai dimanfaatkan segelintir orang yang membuat konten sehingga dapat memecah belah bangsa,” tegasnya.
Sementara, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengungkap, dengan situasi kekinian, bicara revisi tentu tidak menjadi bagian Polri. Sudah ada institusi lain yang berwenang. UU ITE tetap berjalan di masyarakat, Polri diharapkan lebih selektif lagi dalam menangani masalah perkara UU ITE.
Menurut Rusdi, pihaknya ingin memajukan kehidupan bangsa dan memastikan rasa aman dan rasa adil, baik bagi pengguna maupun penyelenggara sistem elektronik. Pemanfaatan dilakukan dengan berbagai penyeimbangan dan pembatasan yang semuanya diatur undang-undang. “Semua ini dilakukan untuk menghargai orang lain dan memberikan rasa keadilan. Pertimbangan lainnya menjaga keamanan dan ketertiban umum,” tegasnya.
Rusdi mengatakan, kecenderungan laporan polisi (LP) yang berhubungan dengan UU ITE terus meningkat. Menurut dia, ini tidak semua dilaporkan. Apabila dilaporkan semua, jumlahnya lebih banyak. Dirincikan, pada 2018 sebanyak 4.360 LP, 2019 (4.586), dan 2020 (4.790). Demikian halnya masalah yang sering membuat gaduh di masyarakat. Ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kasus pencemaran nama baik pada 2018 sebanyak 1.258 LP, 2019 (1.333), dan 2020 (1.794). Selanjutnya, kasus ujaran kebencian pada 2018 sebanyak 238 LP, 2019 (247), dan 2020 (223). Kemudian, kasus berita bohong pada 2018 sebanyak 60 LP, 2019 (97), dan 2020 (197).
“Ini yang sering di dunia maya menjadi gaduh. Tidak hanya di dunia maya tapi juga di masyarakat. Kami tidak ingin kegaduhan terus berlanjut. Kami ingin dunia maya di Indonesia sehat dan produktif, bukan menjadi tempat kegaduhan di masyarakat,” harapnya.
Rusdi menyebut, menilai keberhasilan kepolisian pada era kekinian tidak dilihat dari banyaknya barang bukti dan tersangka yang diserahkan di kejaksaan. Menurut dia, melihat keberhasilan polisi adalah bagaimana polisi mampu mencegah kejahatan, mencegah mnasyarakat tidak jadi korban atau pelaku kejahatan. “Ini yang menjadi motivasi untuk melakukan sisi pencegahan, menjadi sisi dominan dalam menjalankan tugas di lapangan,” jelasnya.
Dijelaskannya, revisi UU ITE tetap berjalan, Akan tetapi, pada sisi lain UU ini berlaku di masyarakat. Perkapolri No 6/2019 pasal 1 ayat 27 mengungkap, penyelesaian suatu perkara bisa melalui proses mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa, pelapor, terlapor, maupun pihak yang dianggap mampu menyelesaikan suatu masalah. “Hal ini membuka ruang Polri untuk melakukan keadilan (restorative justice),” tegasnya.
Lanjut dia, Surat Edaran Kapolri SE 2/II/ 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, sehat, dan Produktif sudah dilaksanakan. “Pada edaran tersebut, penyidik harus berprinsip ultimum remedium (pemidanaan sebagai upaya terakhir) dan mengedepankan restorative justice (penyelesaian perkara secara berkeadilan) dalam semua yang berhubungan dengan UU ITE. Mediasi menjadi salah satu solusi terhadap kegaduhan UU ITE itu sendiri,” terangnya seraya menambahkan, tentunya proses ini sudah berjalan dan sudah dilakukan oleh seluruh personel.
Saat ini, kata Rusdi, Bagaimana mengedepankan sisi keadilan dengan mengedepankan upaya restorative justive dan mengimplementasikan ultimum remedium sambil menunggu revisi UU ITE. Polri sangat mendengar hal-hal yang menjadi diskusi di ruang publik. “Yang jelas bagaimana penanganan dan penegakan hukum yang berhubungan dengan UU ITE senantiasa mengedepankan cara-cara restorative jaustice, cara-cara mediasi, antar pihak pihak bersengketa sehingga mampu menyelesaikan masalah,” ulasnya.
Apabila mediasi perkara dapat diselesaikan, tambah dia, maka dianggap masalah itu selesai dan menjadi kesepakatan. “Apabila proses mediasi itu berjalan dan tidak ditemukan kesepakatan, maka tidak dilakukan penahanan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat,” tandasnya. (maz)



