Bukan Kamuflase tapi Identitas Keagamaan Manusia

# Di Bawah Kibaran Revolusi Hijab

 

PALEMBANG, SIMBUR– Hijab atau jilbab bukanlah identitas keagamaan yang digunakan hanya dengan alasan momentum atau karena desakan dari lingkungan sosial. Identitas tersebut sepatutnya ditempatkan sebagai pengejewantahan seorang hamba terhadap Tuhan sebagaimana yang diperintahkan agama.

Direktur Exceutive Women Crisis Center (WCC) Palembang, Yeni Roslaini Izi berharap jika hijab tidak sekadar menjadi sesuatu yang bersifat kamuflase saja, karena hal itu merupakan bentuk keyakinan. “Saya berharap memang identitas keagamaan itu (hijab) jangan dijadikan alat untuk sesuatu yang bersifat cover saja, bukan kemudian itu (menjadi) identitas dia. Itu satu bentuk keyakinan dan perintah dari agama yang harus dijalankan,” ujarnya kepada Simbur di Dinas PP, PA, PM Kota Palembang, Jumat (26/4).

Dilanjutkan, berhijab bukan karena orang sekelilingnya sudah menggunakan hijab kemudian merasa tidak enak, karena disuruh oleh pihak dimana dia bekerja, atau karena pencitraan. “Misalnya dalam pengadilan seringkali karena dia disidang sebagai terdakwa, lantas mengubah penampilan dari tidak berhijab menjadi berhijab. Jadi (itu) seperti cover (saja). Seolah-olah dia melindungi dirinya dengan memakai identitas keagamaan,” ujarnya menyayangkan.

Padahal, lanjut Yeni, ketika seorang muslimah berhijab itu karena keyakinannya, dan tuntunan agama yang mengharuskan untuk memakai itu. Jadi bukan untuk pencitraan, bukan untuk menutupi sesuatu yang tidak benar, ikut-ikutan, atau tren.

“Nah itu yang terjadi sekarang karena memang selain itu juga ada bully dari beberapa kelompok, dimana jika seorang perempuan tidak memakai hijab maka diragukan keimanannya, kemudian hal-hal yang tidak baik cenderung dituduhkan kepada dirinya. Misalnya dianggap perempuan “gampangan” dan sebagainya. Karena dianggap ketika muslimah sudah menutup dirinya dengan hijab, dia tidak akan melakukan segala sesuatu (hal buruk). Jadi seperti kamuflase,” kata Yeni memberi contoh kasus seraya membenarkan jika faktanya saat ini hal serupa banyak terjadi.

Terkait dengan pelarangan berjilbab bagi muslimah saat akan bekerja di sebuah perusahaan atau institusi, Yeni sangat mengecam hal itu. Bahkan disebut itu telah melanggar hak asasi setiap individu yang menjalankan keyakinan beragamanya.

“Itu juga menurut saya tidak benar dan harus ditentang. Keyakinan seseorang tidak boleh dijegal, dihambat dengan aturan-aturan yang lain. Misalnya, ketika dia memang sudah memakai hijab lalu melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan atau instansi lalu ada aturan-aturan yang melarang memakai hijab dan harus dilepas, saya pikir perusahaan atau instansi itu sebenarnya melanggar hak asasi seseorang untuk menjalankan keyakinannya,” tegasnya.

Hal seperti itu seharusnya segera dilaporkan oleh individu yang mengalaminya. “Saya pikir itu yang harus ditentang dan harus dilaporkan semua perusahaan atau instansi yang melarang individu (berhijab) dan harus melepaskan identitas (keagamaan),” lanjutnya.

Karena, kata Yeni, tidak ada aturan di republik ini (larangan berhijab). Justru aturan yang ada adalah pelarangan diskriminasi terhadap siapapun yang menjadi warga negara Indonesia. Berarti aturan tadi membolehkan seseorang dengan ajaran agama yang dianut. Sehingga ketika ada satu lembaga yang melarang itu, maka itu melanggar hak individu, dak itu kerap kali terjadi.

“Saya pikir WCC akan mendampingi untuk berkoordinasi dengan perusahaan atau lembaga tersebut, bahwa apa yang dilakukan tidak benar. Jika ada yang ingin melapor silahkan ke WCC, dan kami mencoba mendampingi untuk mencari jalan keluarnya, dengan menghadap ke beberapa lembaga-lembaga terkait agar haknya sebagai warga negara bisa terlindungi,” tegasnya dan menambahkan jika memang dirinya belum pernah menerima laporan soal itu, tapi beberapa kali pernah membaca curhatan di media sosial.

Namun, secara umum Yeni menilai jika saat ini hal tersebut tidak lagi masif terjadi. Bahkan, beberapa instansi yang dulunya sangat sulit bagi wanita berhijab untuk masuk didalamnya, kini justru menerima banyak perempuan berhijab.

“Tapi saya sekarang cenderung melihat lebih baik. Misalnya kepolisian dimana dulu katanya Polwan tidak boleh berhijab, tetapi sekarang sudah dibolehkan dan aturannya sudah ada. Sekarang sudah cukup banyak Polwan yang berhijab,” pungkasnya.

Yeni mengatakan jika diskriminasi terhadap muslimah berhijab adalah hal yang tidak benar dan harus ditentang, karena keyakinan seseorang tidak boleh dijegal, dihambat dengan aturan-aturan yang lain. Jika ada aturan-aturan yang melarang memakai hijab dan harus dilepas, dirinya berpikir perusahaan atau instansi itu sebenarnya melanggar hak asasi seseorang untuk menjalankan keyakinan.

“Saya pikir itu yang harus ditentang dan harus dilaporkan semua perusahaan atau instansi yang melarang individu (berhijab) dan harus melepaskan identitas (keagamaan). Karena tidak ada aturan di republik ini. Justru aturan yang ada adalah pelarangan diskriminasi terhadap siapapun yang menjadi warga negara Indonesia. Berarti aturan tadi membolehkan seseorang dengan ajaran agama yang dianut,” geramnya.

Sehingga, lanjut Yeni, ketika ada satu lembaga yang melarang itu, maka itu melanggar hak individu. Dirinya memang belum pernah menerima laporan soal itu, tapi beberapa kali pernah membaca curhatan di media sosial.

“Tapi sekarang cenderung lebih baik. Misalnya kepolisian dimana dulu katanya Polwan tidak boleh berhijab, tetapi sekarang sudah dibolehkan dan aturannya sudah ada. Sekarang sudah cukup banyak Polwan yang berhijab. Saya pikir WCC akan mendampingi untuk berkoordinasi dengan perusahaan atau lembaga tersebut, bahwa apa yang dilakukan tidak benar. Jika ada yang ingin melapor silahkan ke WCC, dan kami mencoba mendampingi untuk mencari jalan keluarnya, dengan menghadap ke beberapa lembaga-lembaga terkait agar haknya sebagai warga negara bisa terlindungi,” jamin Yeni.(dfn)