Pers di Sumsel Menilai Wakil Rakyat “Buta dan Tuli” jika Larang Jurnalisme Investigasi

Terkait media massa cetak, Ocktap juga memastikan dapat terkena imbas RUU Penyiaran. “Teman-teman di media cetak sekarang sudah punya televisi dan channel media sosial yang berlindung di balik medianya. Jika media tersebut menyiarkan investigasi, mereka terkena UU Penyiaran. Karena selama ini mereka masih berlindung di bawah UU Pers. UU Pers tidak perlu diubah,” imbuhnya.

Bukan hanya itu, ada pasal lain misalnya pasal 8 huruf q tentang kewenangan KPI dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. “Selama ini sengketa jurnalistik diselesaikan oleh Dewan Pers. Artinya ini sangat rancu jika ini (sengketa jurnalistik) dilimpahkan ke KPI,” tegasnya.

Sementara, Ketua AJI Palembang, M Fajar Wiko mengatakan, RUU Penyiaran dapat mencederai kebebasan pers. “Padahal, sebagai pilar keempat demokrasi, media massa apapun bentuknya dengan jurnalis yang dinaunginya, punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi,” ujarnya.

Apalagi jika dikaitkan dengan hal yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi kontrol sosial. Sehingga, Revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR semakin menenggelamkan demokrasi.

“Kami juga menyimpulkan terdapat berbagai upaya DPR dan pemerintah untuk menyensor hak publik, yakni dengan mengatur penyiaran internet, melegalkan konglomerasi media penyiaran, sehingga dapat mengancam hak politik sosial dan ekonomi, serta mengekang kebebasan ekspresi dan berkesenian,” ujarnya.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumsel, Kurniadi dalam orasinya tegas menolak revisi RUU Penyiaran. “Kami dari koalisi pers Sumsel meminta DPRD RI menyampaikan aspirasi kami untuk mengkaji ulang revisi RUU Penyiaran ini,” ujarnya.