- Gempa di Aceh Barat Daya Tidak Berpotensi Tsunami
- Dukung Program MBG, Daerah Diminta Siapkan Lahan untuk SPPG
- Pimpin Tradisi Penerimaan Serta Pelepasan Warga Korem 041/Gamas
- Satgas Yonif 144/JY Dirikan Gereja dan Beri Layanan Kesehatan, Satgas Yonif 141/AYJP Pos Fayit Bangun Rumah Layak Huni
- Polisi Kalah Praperadilan, Penetapan Tersangka Penelantaran Anak Tidak Sah
Mitra Pasamayan Warisan Luhur Parahyang, Sriwijaya Identik Sunda sedangkan Kalingga dengan Galuh

BANDUNG, SIMBUR – Mitra Pasamayan diketahui sebagai warisan parahyang. Hal itu memperkuat kesimpulan dari hasil penelusuran dan penjelajahan bahwa terdapat hubungan kekerabatan antara kerajaan Sriwijaya, Sunda-Galuh, dan Kalingga. Saat Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Sriwijaya) berkonflik dan ingin menyerang Ratu Shima (Kalingga), dapat didamaikan oleh Raja Tarusbawa (Sunda).
Diketahui dari sejumlah literatur, Tarusbawa (versi Sunda bukan Terrusbawa yang ditulis pada berita sebelumnya) bergelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Tarusbawa diangkat menjadi raja Sunda pada 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka. Jika dalam tahun Masehi kurang lebih pada tanggal 18 Mei 669 Masehi. Di tahun 670 Masehi, Tarusbawa mengganti Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Penggantian nama itu membuat Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh memisahkan negaranya dari kekuasaan atau kepemimpinan Tarusbawa.
Wretikandayun adalah seorang putra Galuh menikah dengan seorang Putri yang bernama Parwati. Parwati adalah seorang putri Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga (sebuah kerajaan di Jawa Tengah). Dengan dukungan Kerajaan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi dua bagian, yakni Sunda dan Galuh. Kerajaan Sunda dipimpin Tarusbawa, sedangkan Kerajaan Galuh dipimpin Wretikandayun.
Setelah kerajaan Sunda-Galuh runtuh lalu berganti Pajajaran yang dipimpin Sri Jayabhupati. Dia adalah keturunan putri Kerajaan Sriwijaya dan masih kerabat dekat dengan Raja Wurawuri. Permaisuri Sri Jayabhupati adalah putri Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang Mataram Kuno, periode Jawa Timur, dan masih merupakan adik kandung Dewi Laksmi, istri Raja Airlangga (Raja Kahuripan di Jawa Timur). Pajajaran mencapai kejayaan pada masa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Menanggapi narasi itu, Ronny Wijaya SSos, pamong budaya Disbudpar Provinsi Jawa Barat percaya bahwa Mitra Pasamayan itu ada. Akan tetapi, dia mengklarifikasi pemisahan Sunda dan Galuh dari Tarumanegara bukan akibat perpecahan namun karena adanya pembagian wilayah antara garis keturunan raja-raja di Tanah Sunda.
“Ada perjanjian antara Sunda-Galuh dalam naskah Parahyang. Mitra Pasamayan itu memang ada kejadiannya dalam naskah itu,” tegas Ronny diwawancara Simbur di ruang kerjanya Gedung YPK, Jl Naripan Kota Bandung, Senin (25/9).
Mitra Pasamayan, lanjut dia, terjadi karena dinamika kehidupan. Dengan adanya Mitra Pasamayan, bisa damai sampai sekarang. Sri Jayanasa mungkin merasa terusir dari Sunda ke Sumatera lalu keukeuh mendirikan kerjaan baru. “Saat Sriwijaya berkonflik dengan Kalingga, dimediasi Raja Sunda Tarusbawa yang menjadi koordinator raja-raja masa itu. Tarusbawa itu gelar Taruma Sunda Sembawa bukan nama aslinya,” terangnya.
Intinya, kata dia, perselisihan Sriwijaya dengan Kalingga, dapat ditengahi Tarusbawa. Ada satu pemegang kunci yang bisa mendamaikan. Pada dasarnya Sunda-Galuh dari satu bapak dan ibu. “Keturunannya membagi wilayah yang ditentukan majelis rama (romo), orang yang lebih tua dan tidak lagi memikirkan diri sendiri, maka dibuatlah wilayah masing-masing,” ulasnya.
Ronny bersyukur dengan adanya Mitra Pasamayan bisa damai sampai sekarang. Intinya, dalam bahasa sederhana semua ini bersaudara, mengapa harus bertikai memperebutkan sesuatu. “Dinamika kehidupan ada saja. Saat itu tahun 600-an Ratu Shima perempuan sudah ada kesetaraan gender. Dengan adanya Tarusbawa hanya beliau yang dapat menjelaskan. Makanya Tarusbawa juru kunci dari dua raja bertikai,” ulasnya.
Ronny mencoba meluruskan sejarah budaya yang sebenarnya terjadi di Tanah Sunda. Terkait Mitra Pasamayan yang melibatkan perjanjian antara tiga kerajaan besar di Nusantara, yakni Sriwijaya, Sunda-Galuh, dan Kalingga. “Untuk membatasi (Mitra Pasamayan), pendukung datanya harus dijelaskan juga. Mengapa Tarumanegara dibagi dua menjadi Sunda dan Galuh,” terang Ronny.
Mulanya Ronny mengatakan, kebanyakan orang berpendapat bahwa Salakanagara (Rajatapura) tidak ada bukti. “Sebenarnya ada. Setelah ditemukannya arca Salaka Domas, berarti ada Salaka Nagara,” ujarnya.
Media ini pun kembali mencoba menelusuri. Ditemukan dari sejumlah referensi bahwa ajaran Sundayana disebarluaskan Maharaja Resi Prabu Sindhu-La-Hyang (bapak Da Hyang Su-Umbi). Inti ajaran Prabu Sindhu dikenal Shinto (di Jepang) dan Hindu (di India) yang meliputi ajaran budi pekerti dan ketatanegaraan yang disebut Salaka Domas dan Salaka Nagara. “Sunda milik semua orang. Semua bisa menjadi orang Sunda. Sunda itu tanah suci karena ada parahyang ditandai batu satangtung,” katanya.
Referensi lainnya, Salakanagara (Rajatapura) atau negeri perak (sekarang dikenal dengan nama Merak), kerajaan indianisasi di Pulau Jawa (130-362 Masehi). Kerajaan Salakanagara didirikan Aji Saka (Dewawarman) yang berasal dari Jambudwipa (India Selatan) dari suku Saka (Sythia). Aji Saka disebut sebagai pembuat tarikh kalender tahun Saka. Dalam cerita pewayangan, Aji Saka membuat puisi untuk dua pengikut setianya Dora dan Sembada. Jika dibaca menjadi aksara Jawa, hana caraka-data sawala-padha jayanya-maga bathanga (ada dua utusan berselisih-sama kuatnya dalam pertarungan-dan inilah mayatnya).
“Trah Sunda yang datang dari trah Bapak asal India Selatan. Bukan berarti orang Sunda keturunan India. Menurut saya, Nusantara adalah credo of life, bukan all of Africa, all of Eropa tapi justru all of Java,” ungkapnya.
Ronny menambahkan, dari Naskah Wangsakerta disebutkan, trah Bapak (versi Sunda) dari India Selatan. Jika percaya pada Indonesia adalah credo of life. Bila trah Sunda datang dari trah bapak di India Selatan, India daerahnya mana dulu. Bukan berarti orang Sunda berasal dari India. Sebaliknya, raja-raja India dan negara lainnya di dunia itu asalnya dari Pulau Jawa, khususnya Sunda. “Kalau kita yakin credo of life, berarti dari sini (Sunda) dulu baru ke sana (India) lalu balik lagi ke sini (Sunda),” ujarnya.
Dalam naskah Wangsakerta, lanjut Ronny, orang yang datang dari India Selatan itu tadi disebut Aji Saka (Dewawarman). Saat itu Aki Tirem masih menjadi penguasa Jawa. Aki Tirem menikahkan anak perempuannya (Pwahaci/Pohaci Larasati atau Dewi Dwani Rahayu) dengan Aji Saka. Akhirnya berketurunan membuat Salakanagara, kemudian berkembang menjadi Tarumanegara, Sunda Galuh, Kendal, hingga Banjarnegara di Wonosobo (Dieng).
“Awalnya adanya Aji Saka dan Aki Tirem. Aji Saka disebut Haji Raksa Gapura Sagara bertemu dengan Aki Tirem (yang disebut Angling Darma) penguasa Jawa yang berdomisili di Pandeglang. Aji Saka disebut Trah Sunda, Aki Tirem Trah Galuh,” ungkapnya.
Aji Saka, kata Ronny, disebut-sebut pelarian dari kerajaannya di India lalu melarikan diri ke Pulau Jawa. “Di era Salakanagara sudah mulai terstruktur silsilahnya, sudah mulai kompleks. Dari Salakanagara menjadi Tarumanegara. Tidak ada Salakanagara dikalahkan Tarumanegara. Itu hanya perjalanan sistem tata negara,” tegasnya.
Agar tidak ribut, kata dia, majelis kerajaan membagi dua wilayah berdasarkan trah Bapak (Aji Saka) dan trah Ibu (termasuk Aki Tirem ayah Pohaci Larasati). “Trah Bapak dari Sungai Citarum ke Barat. Trah Ibu dari Cimanuk ke Timur. Di tengahnya tidak boleh ada (bangunan) apa-apa yang disebut Parahyang. Yang ada hanya batu Satangtung semacam menhir. Artinya pendirian atas jati diri,” jelasnya.
Untuk trah Bapak (Sunda) dari Citarum ke wilayah Barat. Dari Aki Tirem Trah Ibu dari Cimanuk sampai ke Timur yang disebut Galuh. Makanya ada istilah kerajaan Sunda-Galuh. “Antara Sunda-Galuh (Citarum dan Cimanuk) ada yang namanya Parahyang. Tidak boleh ada (bangunan) apa-apa,” jelasnya.
Lantas apa yang dimaksud Parahyang, Ronny menjelaskan bahwa itu tempat kembali. Ketika sudah paripurna menjadi maharaja/maharani kembali ke Parahyang. Istilahnya suniaraja. “Para raja yang sudah pensiun akan pulang ke Parahyang. Artinya orang yang sudah manunggal dengan Tuhan. Melepaskan semua urusan keduniawian. Saya punya keyakinan berdasarkan imajinasi konstruktif, semua ada di Pulau Jawa. Semua alam terhubung dengan manusia. Sunda itu sudah sejahtera, makanya peradaban muncul,” bebernya.
Makanya, lanjut Ronny, sampai kapan pun, sejarawan mempertanyakan Kerajaan Pajajaran (setelah Sunda-Galuh) yang mana, karena bangunan tidak ada. Menurutnya, Kerajaan Pajajaran itu sistem (seperti GBHN/garis-garis besar haluan negara). Kalingga dianggap Pajajaran sebelah Wetan (Timur), Sriwijaya masuk Pajajaran sebelah Kulon (Barat).
Diketahui, peninggalan Kerajaan Sunda-Galuh terdiri dari Prasasti Cikapundung ditemukan di sekitar sungai Cikapundung; Prasasti Pasir Datar ditemukan di Cisande, Sukabumi; Prasasti Huludayeuh di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Cirebon; Perjanjian Sunda-Portugis; Prasasti Ulubelu di desa Rebangpunggung, Kotaagung, Lampung; dan Situs Karangkamulyan di Desa Karangkamulyan, Ciamis.(maz)