- Terdakwa Sebut Potongan Dana BOK untuk Kirim Bunga saat Ultah Pemda
- Tim Satgas Berhasil Padamkan Karhutla di Tebo Jambi
- Kecamatan Sukarami Tertinggi Kasus ISPA di Kota Palembang
- Hujan Efektifkan Pengendalian Karhutla dan Kualitas Udara di Kalbar
- Presiden Jokowi Pastikan Buka Kongres XXV PWI di Bandung, Diikuti PWI 39 Provinsi
Memahami Mitra Pasamayan, Perdamaian Selaras dengan Kemakmuran dan Integritas

PALEMBANG, SIMBUR – Mitra Pasamayan, perjanjian antara Kerajaan Sriwijaya dan Sunda yang ditulis pada sebuah prasasti dalam bahasa Melayu dan Sunda. Isinya tentang kesepakatan dua kerajaan tidak saling menyerang tapi harus saling membantu dan maju bersama. Mitra Pasamayan disetujui kedua belah pihak, yakni Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Raja Sriwijaya) dan Terrusbawa (Raja Sunda) pada tanggal 14 bagian terang bulan Maga tahun 607 Saka (sekitar 22 Januari 685 masehi).
Mitra Pasamayan juga ditawarkan Sriwijaya kepada Kerajaan Kalingga. Namun Ratu Shima (penguasa Kalingga) menolak karena sakit hati atas penaklukan kerajaan Melayu Sribuja oleh Sriwijaya. Karena penolakan itu, Sriwijaya bermaksud menyerang Kalingga. Ketegangan Sriwijaya dan Kalingga dilerai oleh Terusbawa (Raja Sunda) yang bertindak sebagai sahabat dan kerabat. Peperangan pun dapat dihindarkan dan terciptalah perdamaian antara Kerajaan Sriwijaya, Sunda, dan Kalingga.
Saudi Berlian, sosiolog asal Sumatera Selatan mencoba menafsirkan sekaligus memaknai nilai-nilai masa lalu yang tersirat dalam Mitra Pasamayan. “Sekarang ada tiga wilyah di Indonesia (Barat, Tengah, Timur). Zaman dahulu, hanya satu wilayah. Dalam konteks perdamaian, mereka (masyarakat zaman dahulu) punya nilai bersama. Itu jelas datang dari masing-masing unsur. Mengikis perbedaan, menekan konflik, hingga menjaga perdamaian,” ujar Saudi kepada Simbur, Kamis (7/9).
Mitra Pasamayan, lanjut Saudi, sudah ditemukan pada masa itu. Menurut dia, istilah perdamaian dahulu bisa disebut juga dengan tenggang rasa, toleransi. “Intinya menjaga. Berbuat baik dan tidak menyinggung orang lain. Orang dahulu bersifat ksatria. Jangan sampai memancing terjadinya konflik. Banyak hal dalam menjaga perdamaian dan kebersamaan,” jelasnya.
Saudi berusaha membentangkan pola bagaimana langkah awal menelusuri nilai-nilai sejarah budaya yang terjadi pada masa lalu. Kalau peta zaman dahulu, kata dia, migrasi dan persebaran masyarakatnya melalui jalur air. Kalau mereka membuat perkampungan, biasanya di tepian atau pesisir. “Pertama lihat peta. Jawa itu dulu peradaban berdasar aliran sungai. Demikian halnya dengan Sumatera. Aliran sungai mempermudah melihat persebaran masayarakat dari mana ke mana pada masa lalu,” ungkapnya.
Dikatakan Saudi, ada satu yang dipakai sebagai pendekatan menggali nilai masa lalu. Biarkan data-data itu berjalan. Meskipun pakai data modern, pakai sementara sebagai alat bantu. “Di luar emansipasi gender atau kelas, lihat dulu metodologi dan variabel kemudian baru ditampung,” ujarnya.
Ratu Shima dan Kalingga Tidak Terlalu Diekspos di Jawa Terkait Narasi dan Fakta
Saudi memiliki pandangan lain, mengapa Ratu Shima penguasa Kerajaan Kalingga yang disebut cikal bakal raja-raja besar di Pulau Jawa tidak begitu dieksplorasi oleh pemerintah dan masyarakat di sana. Menurut dia, kadang-kadang ada faktor tertentu juga. “Kadang orang tidak mengeskpos satu figur. Mungkin lupa atau memang sengaja disembunyikan atau ditutupi. Lihat saja narasi itu tapi tidak boleh diputuskan. Sebab narasi disampaikan bukan dalam konteks yang kosong,” jelasnya.
Terkadang, lanjut dia, narasi dikonfirmasi dengan fakta. Dengan konfirmasi itu, fakta mengoreksi narasi. Kadang fakta itu dibuat untuk menjadi legitimasi narasi. Bisa juga sebaliknya, narasi sengaja dibuatkan faktanya. “Pakai cacatan untuk melihat fakta. Ada narasi sendiri dan fakta sendiri,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana memilah antara fakta dan narasi Ratu Shima dan Kerajaan Kalingga, Saudi memberi gambaran tentang nilai perdamaian yang tertuang dalam Mitra Pasamayan. Diantaranya, selain kesetaraan gender yang menjadi manifes figur Ratu Shima, tentu ada kemakmuran dan integritas yang dimiliki penguasa dan rakyatnya.
“Lihat gambaran situasi di mana masyarakat damai itu penuh kemakmuran. Karena kemakmuran itu mereka bisa leluasa berkreasi. Bayangkan pada masa itu sudah ada kemakmuran, sehingga level etik dinaikkan. Kalau sudah makmur, mengambil barang orang lain tidak boleh. Ratu Shima tegas, menghukum anaknya sendiri yang mengambil barang milik orang lain. Masalah internal sudah selesai kalau ada kemakmuran, maka perdamaian dapat diciptakan,” tegasnya.
Selain kemakmuran, bagaimana sistem integritas zaman dahulu dalam menegakkan hukum. “Kuncinya ada di integritas. Ratu Shima, begitu ada yang melanggar meski anaknya sendiri, maka disikat juga. Dia menerapkan kebenaran karena memiliki integritas,” ungkapnya.
Dapunta Hyang Turun dari Langit untuk Mendirikan Sriwijaya Hanya Mitos
Ditanya, narasi Dapunta Hyang Sri Jayanasa turun dari langit saat mendirikan Kerajaan Sriwijaya, Saudi membantah dan menepisnya. “Itu (mitos) terima saja untuk membatasi mata rantai genetik. Artinya, orang tidak lagi membaca dan menelusuri secara genetik dan silsilahnya jika sudah dibuat narasi seperti itu,” ungkapnya.
Dalam sejarah tutur, lanjut dia, ada politik redaksional. Mau membuat narasi tapi tidak mau diganggu dengan pertanyaan kontradiktif. “Kok turun Dapunta Hyang Sri Jayanasa turun dari langit? Ya, karena dia orang hebat,” jawab kelompok tertentu diselorohkannya.
Menyikapi itu, Saudi berpendapat, ada pula yang tidak bisa dihindari seperti mitos tadi. Menurutnya mitos itu tidak perlu dihindari tapi hanya untuk menghormati. “Mitos hanya dipakai untuk pemahaman. Kadang mitos bisa menjadi petunjuk untuk menemukan fakta. Dalam keadaan tidak masuk akal pun harus ditampung. Karena kadang itu kadang sengaja dibuat,” katanya.
Lebih baik, kata Saudi, cari juga aspek keagamaan. Kalau Sriwijaya, bisa lihat ada tipe manusia mandala. Ada delapan tahap yang harus ditempuh dalam menjalani hidup. “Makanya realisasi ajaran Buddha pada masa Sriwijaya konsen pada proses reinkarnasi. Apalagi dalam catur warna yang dimuliakan dalah pemilik ilmu (brahmana), di antara ksatria, waisa (saudagar), dan sudra. Kalau dilihat naskah lama, caturwarna bukan sebagai kelas atau tingkatan hierarki tapi sebagai klasifikasi,” ujarnya.
Demikian halnya, Waisa (saudagar pemilik modal) bukan siapa-siapa tanpa adanya sudra (pekerja). “Justru yang dianggap hierarki paling tinggi adalah brahmana tapi finansialnya tidak ada,” ungkapnya.
Ada beberapa simpulan yang disampaikan Saudi. Pertama, mengangkat kembali (sejarah budaya masa lalu) yang sudah dimiliki bangsa ini. “Mengingat, (sejarah budaya masa lalu) yang diangkat banyak yang masih relevan sebagai referensi masa kini. Ada referensi modern yang dipakai sebagai determinan atau cara mendekati sejarah masa lalu,” terangnya.
Saudi berpesan, nilai-nilai masa lalu perlu dan harus diangkat karena itu bagian dari ensiklopedi dan cerminan masa kini dan investasi masa depan. “Apa yang didapat sekarang menjadi catatan pada masa mendatang,” pungkasnya.(red)