- Terdakwa Korupsi Dana Korpri Banyuasin Divonis Lebih Tinggi dari Tuntutan, Kuasa Hukum Ajukan Banding
- Vonis Hakim Menuai Kecaman, Muncul Wacana Revisi UU Perlindungan Anak
- Aset Hasil Cuci Uang Puluhan Miliar Disita dari Gembong Narkoba Internasional di Palembang
- Ciptakan Situasi Kondusif di Sumsel Jelang Pilkada Serentak 2024
- Empat Korban Tewas akibat Banjir dan Longsor di Aceh Masih Satu Keluarga
Mitra Pasamayan sebagai Tanda Bangsa Indonesia Lestarikan Perdamaian, Terapkan SDGs sejak Abad Keenam
Mitra Pasamayan menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia telah melestarikan perdamaian. Jauh sebelum masa Perserikatan Bangsa-Bangsa, Misi Garuda, Gerakan Non-Blok, Deklarasi Juanda, Asean dan lainnya. Indonesia juga sudah menerapkan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam tujuan pembangunan global berkelanjutan pada abad ke-6. Hal itu dikuatkan dengan jalinan hubungan persaudaraan dan perdamaian antara Kerajaan Sriwijaya, Sunda-Galuh, dan Kalingga. Dalam mengungkap makna Mitra Pasamayan sebagai manifes SDGs, media ini menggunakan pendekatan Semiotika Charles Sanders Pierce.
Muhammad Azhari – Palembang
BANYAK pihak menyebut bahwa Mitra Pasamayan dibuat antara Kerajaan Sriwijaya dan Sunda. Tidak ada kaitan dengan Kalingga. Kalingga bersekutu dengan Galuh. Hasil ekspedisi Simbur ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera, dapat ditarik benang merah bahwa ada hubungan persaudaraan dalam menyuarakan perdamaian antara tiga kerajaan besar di Nusantara pada abad ke-6, yakni Sriwijaya, Sunda-Galuh dan Kalingga yang tersirat dalam Mitra Pasamayan.
Dalam kajian Semiotik Kultural, Mitra Pasamayan ditafsir dari dua kata bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno) yakni ‘mitra’ (kawan/sahabat) dan ‘semay’ (janji). Dalam perkembangan bahasanya menggunakan afiksasi kata ‘semay’ atau ‘samay’ menjadi ‘pasamayan’ yang artinya perjanjian atau kesepakatan. Mitra Pasamayan ditafsir sebagai tanda perjanjian/kesepakatan yang dibuat dalam memperkuat hubungan persahabatan antara Kerajaan Sriwijaya, Sunda dan Kalingga.
Saudi Berlian, sosiolog dan budayawan asal Sumatera Selatan menjelaskan, mengangkat kembali (sejarah budaya masa lalu) yang sudah dimiliki bangsa ini itu harus dilakukan. “Mengingat, (sejarah budaya masa lalu) yang diangkat banyak yang masih relevan sebagai referensi masa kini. Ada referensi modern yang dipakai sebagai determinan atau cara mendekati sejarah masa lalu,” terangnya.
Dari sejumlah referensi, selain disebut anak pendeta di Melayu Sribuja, Ratu Shima ternyata anak Prabu Wasugeni (Raja Kalingga pada 605-632 M) hasil pernikahan dengan Dewi Paramita dari Dinasti Pallawa (India). Ratu Shima sekaligus keponakan Kirathasinga atau Santanu yang menikah dengan Dewi Wasundari atau Badrawati (adik Wasugeni). Kirathasinga atau Santanu adalah anak Raja Bhanu yang memerintah kerajaan Kalingga di Bhumi Bharata, Odhisa India (580-619 M) dan berkerabat dengan Raja Melayu Sribuja. Kirathasinga (Santanu) disebut sebagai penguasa Swarnabhumi merupakan (suami putri Tarumanegara masa Raja Wisnuwarman) merupakan ayah dari Dapunta Syailendra dan Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Versi Sumatera, Selendra merupakan orang kepercayaan yang menerima kutukan Dapunta Hyang Sri Jayanasa karena tidak berhasil menaklukkan Kerajaan Kalingga sehingga tidak berani kembali ke Sriwijaya dan menetap di Pulau Jawa bersama pasukannya.
Meski demikian, versi yang dipilih Dapunta Syailendra (kakak Dapunta Hyang Sri Jayanasa) menikah dengan Sampula mempunyai anak bernama Kartikeyasingha yang menjadi suami Ratu Shima. Artinya, masih ada kekerabatan antara Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Raja Sriwijaya) dengan Ratu Shima (Ratu Kalingga). Ketika suaminya Kartikeyasingha wafat, Ratu Shima ingin dilamar Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ternyata Ratu Shima menolak lamaran Dapunta Hyang Sri Jayanasa sehingga Kerajaan Sriwijaya akan menyerang Kalingga.
Terrusbawa (Raja Sunda) merupakan kakak ipar Sobakancana (adik Manasih putri Raja Tarumanegara) tidak membiarkan Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Raja Sriwijaya) menyerang Kalingga karena lamarannya ditolak Ratu Shima.
Mengingat sebelumnya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa membawa istrinya Sobakancana (putri kedua Raja Tarumanegara) pergi ke Melayu Sribuja karena di Kalingga dan Sunda tidak memiliki peluang naik takhta. Saat itu Pulau Sumatera dan Jawa masih menyatu sebelum Gunung Krakatau meletus dan menjadikan Selat Sunda.
Saudi menambahkan, migrasi dan persebaran masyarakatnya melalui jalur air. Kalau mereka membuat perkampungan, biasanya di tepian atau pesisir. “Pertama lihat peta. Jawa itu dulu peradaban berdasar aliran sungai. Demikian halnya dengan Sumatera. Aliran sungai mempermudah melihat persebaran masayarakat dari mana ke mana pada masa lalu,” ungkapnya.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa dan istrinya Sobakancana kurang begitu diterima di Kerajaan Melayu Sribuja. Akhirnya keduanya boleh tinggal dan menetap di mandala (pusat pendidikan tinggi atau universitas sebelum melanjutkan ke Nalanda India) yang disebut Cham Pi (sekarang Muaro Jambi).
“Setiap lulusan mandala (pusat pendidikan) di Cham Pi itu bisa masuk tanpa tes jika ingin melanjutkan studi agama Buddha ke Nalanda di India,” ujar Saudi.
Berawal gagasan di mandala itulah, Dapunta Hyang Sri Jayanasa pun berjanji kepada istrinya Sobakancana untuk mendirikan wanua baru. Rencananya tidak begitu didukung para penguasa Melayu selain raja suku Kumoring (Komering). Atas dukungan dan arahan Mahaguru Acharya Satyakirti, maka Dapunta Hyang Sri Jayanasa melakukan perjalanan suci yang disebut Siddhayatra.
Tahun Saka 605, hari kesebelas paro-terang bulan Waisakha, Dapunta Hyang Sri Jayanasa mengambil air suci dan menancapkan prasasti di Kedukan Bukit. Pada hari ketujuh, paro-terang bulan Jyestha, Dapunta Hyang Sri Jayanasa menaiki sampan ke daerah pertemuan dua sungai kembar, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, dikenal dengan Minanga Tamwan (pertemuan dua sungai) yang ditandai Candi Muara Takus (Riau). Ada juga yang menyebut Minanga di Sungai Komering sekitar daerah Palembang (Fa-Lin-Fong). Dari sana Jayanasa pergi diiringi dua laksa (20 ribu) pengikutnya, dengan perbekalan 200 peti, diikuti 1.312 prajurit berjalan kaki menuju Hulu Upang atau Muka Upang (Matajap) perairan Selat Bangka, memanjatkan doa dan bersuka cita. Dapunta Hyang Sri Jayanasa menepati janji suci kepada istrinya Sobakancana, mendirikan kerajaan baru.
Perlahan tapi pasti gagasan Dapunta Hyang Sri Jayanasa mulai diterima di Cham Pi. Sriwijaya masih berstatus kerajaan kecil karena saat itu di Sumatera dikuasai dua kerajaan besar Melayu yakni Pali dan Sribuja. Dapunta Hyang Sri Jayanasa berpikir tidak ada cara lain untuk menyatukan kerajaan agar menjadi lebih besar hanya dengan melakukan ekspansi. Termasuk upaya menaklukkan kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk Sribuja sehingga berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Dapunta Hyang Sri Jayanasa berkuasa, Kerajaan Sriwijaya membuat perjanjian dengan Kerajaan Sunda yang ditulis pada sebuah prasasti dalam bahasa Melayu dan Sunda dan dikenal dengan Mitra Pasamayan. Isinya tentang kesepakatan dua kerajaan tidak saling menyerang tapi harus saling membantu dan maju bersama. Mitra Pasamayan disetujui kedua belah pihak, yakni Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Raja Sriwijaya) dan Terrusbawa (Raja Sunda) pada tanggal 14 bagian terang bulan Maga tahun 607 Saka (sekitar 22 Januari 685 masehi).
Mitra Pasamayan juga ditawarkan Sriwijaya kepada Kerajaan Kalingga. Namun Ratu Shima (penguasa Kalingga) menolak karena sakit hati atas penaklukan kerajaan Melayu Sribuja oleh Sriwijaya. Karena penolakan itu, Sriwijaya bermaksud menyerang Kalingga. Ketegangan Sriwijaya dan Kalingga dilerai oleh Terusbawa (Raja Sunda) yang bertindak sebagai sahabat dan kerabat.
Terusbawa mengirimkan surat kepada Sri Jayanasa, yang isinya mengingatkan, bahwa ”Sunda tidak akan membantu penyerangan Sriwijaya ke Kalingga”. Terusbawa khawatir jika masalah ini dituduhkan oleh negara-negara lain, karena pinangan Sri Jayanasa ditolak oleh Ratu Shima. Imbauan Terrusbawa akhirnya diterima Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Dengan jiwa ksatria, Dapunta Hyang Sri Jayanasa mengurungkan niatnya. Kapal-kapal Kalingga yang ditahan Sriwijaya pun dikembalikan. Peperangan pun dapat dihindarkan dan terciptalah perdamaian antara Kerajaan Sriwijaya, Sunda, dan Kalingga.
Mitra Pasamayan, lanjut Saudi, jelas sudah ditemukan pada masa itu. Menurut dia, istilah perdamaian dahulu bisa disebut juga dengan tenggang rasa, toleransi. “Intinya menjaga. Berbuat baik dan tidak menyinggung orang lain,” jelasnya.
Dalam kajian semiotik kultural Pierce, ditemukan sejumlah tanda dan penanda dari konteks Mitra Pasamayan yang ditemukan dari tiga karakter tokoh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Terrusbawa (Sunda), Ratu Shima (Kalingga). Tanda/representasi (yang mewakili) terdiri dari qualisign ditunjukkan dari sifat keras Ratu Shima, baik menghukum anaknya sendiri maupun menolak lamaran Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Sinsign terlihat dari peristiwa dan upaya Terrusbawa mendamaikan konflik Dapunta Hyang Sri Jayanasa dan Ratu Shima. Legisign terlihat dari sifat ksatria Dapunta Hyang Sri Jayanasa membatalkan perang karena mengedepankan norma susila setelah lamarannya ditolak Ratu Shima.
Selanjutnya, Object (yang diwakili) terdiri dari ikon sejumlah candi yang dibangun di tiga kerajaan Sriwijaya, Sunda, dan Kalingga. Indeks ditunjukkan dari hubungan kausalitas ancaman perang disebabkan akibat lamaran Dapunta Hyang Sri Jayanasa ditolak Ratu Shima. Simbol ditunjukkan dari surat yang disampaikan Terrusbawa kepada Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang berisi pesan bahwa Sunda tidak akan membantu Sriwijaya untuk menyerang Kalingga.
Sementara, Interpretant (tafsiran) terdiri dari rheme ditunjukkan dari peran mediator Terussbawa yang bersifat penyabar dan cinta damai. Decisign ditunjukkan dari peraturan di Kerajaan Kalingga, di mana rakyatnya tidak diperbolehkan mengambil barang milik orang lain. Argument “wanita adalah tiang negara” ditunjukkan dari kesetiaan Ratu Shima tidak menikah lagi setelah suaminya wafat sekaligus kokoh mempertahankan integritas dalam memimpin kerajaannya.
Kembali ke Hari Perdamaian Internasional 2023 yang mengangkat tema “aksi untuk perdamaian: ambisi untuk tujuan global”. Tema itu relevan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dengan 17 indikator. Ketujuhbelas indikator SDGs itu tersirat dalam Mitra Pasamayan.
Menurut Saudi, nilai-nilai masa lalu seperti Mitra Pasamayan perlu dan harus diangkat karena itu bagian dari ensiklopedi dan cerminan masa kini dan investasi masa depan. Terutama dalam keterkaitannya dengan SDGs. “Apa yang didapat sekarang menjadi catatan pada masa mendatang,” pungkasnya.
Indikator SDGs Pertama, minim kemiskinan. Kerajaan Kalingga menerapkan aturan rakyatnya tidak boleh mengambil barang milik orang lain. Artinya, kerajaan tersebut sudah bisa dikatakan makmur. Kedua, nihil kelaparan. Sriwijaya, Sunda-Galuh, dan Kalingga merupakan kerajaan besar. Ketiganya telah membuat kesepakatan perdamaian. Tidak ditemukan referensi rakyat di tiga kerajaan tersebut menderita kelaparan.
Ketiga, kesehatan dan Kehidupan baik. Rakyat di Sriwijaya, Sunda-Galuh, dan Kalingga memiliki kesehatan dan kehidupan yang baik. Keempat, pendidikan berkualitas. Pusat studi agama yang disebut mandala di Cham-Pi menjadi simbol bahwa pendidikan saat itu sudah berkualitas. Kelima, Kesetaraan gender. Ratu Shima menjadi penguasa di Pulau Jawa merupakan manifestasi kesetaraan gender.
Keenam, Ketersediaan air bersih dan sanitasi. Sistem pengairan dan air bersih dilihat dari sistem kanal yang ada di Candi Muaro Jambi. Ketujuh, Energi terjangkau. Sumber energi pada masa itu telah menggunakan tenaga air dan angin. Ribuan kapal tiga kerajaan tersebut dapat berlayar di perairan Nusantara. Kedelapan, Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi
Industri. Pekerjaan rakyat sebagai petani dan nelayan, pedagang hingga pengerajin keramik dan gerabah.
Kesembilan, Inovasi dan infrastruktur. Inovasi dan infrastruktur pembangunan candi peninggalan tiga kerajaan tersebut masih dapat ditemukan hingga saat ini. Kesepuluh, mengurangi ketimpangan dalam dan antarnegara. Untuk menjaga stabilitas, semua kerajaan di bawah kekuasaan diperbolehkan melakukan kegiatan ekonomi, kecuali aktivitas militer yang dikendalikan penuh oleh kerajaan tersebut.
Kesebelas, keseimbangan kota dan komunitas. Pembangunan tata kota dan sistem sosial masyarakat pada tiga kerajaan tersebut sangat baik. Terdapat pengklasifikasian antara kelompok brahmana, kstaria, waisa dan sudra.
“Realisasi ajaran Buddha pada masa Sriwijaya konsen pada proses reinkarnasi. Apalagi dalam catur warna yang dimuliakan dalah pemilik ilmu (brahmana), di antara ksatria, waisa (saudagar), dan sudra. Kalau dilihat naskah lama, caturwarna bukan sebagai kelas atau tingkatan hierarki tapi sebagai klasifikasi,” ujar Saudi.
Keduabelas, Tanggung jawab konsumsi dan produksi. Perjalanan suci Dapunta Hyang membawa ratusan ribu peti cukup membekali ribuan pengikutnya. Ketigabelas, Aksi untuk iklim. Aksi untuk iklim terlihat dari pembangunan taman sriksetra oleh Dapunta Hyang.
Keempatbelas, Kehidupan bawah air. Sungai Kampar memiliki kehidupan bawah air yang cukup baik. Kelimabelas, Kehidupan di daratan, perdamaian. Mitra Pasamayan dibuat antar kerajaan untuk saling membantu dan tidak saling menyerang.
Keenambelas, Keadilan dan kekuatan lembaga. Penegakan hukum untuk mencapai keadilan diterapkan Ratu Shima meskipun harus menghukum anaknya sendiri yang melanggar aturan. “Kuncinya ada di integritas. Ratu Shima, begitu ada yang melanggar meski anaknya sendiri, maka disikat juga. Dia menerapkan kebenaran karena memiliki integritas,” ungkapnya.
Terakhir, Kemitraan mencapai tujuan. Dilakukan Terrusbawa (Raja Sunda) melakukan mediasi agar Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa tidak menyerang Kalingga yang dipimpin Ratu Shima. “Orang zaman dahulu bersifat ksatria. Jangan sampai memancing terjadinya konflik. Banyak hal dalam menjaga perdamaian dan kebersamaan,” tutupnya.(*)