Kantor Media Internasional Dibom Israel

PALEMBANG, SIMBUR – Israel mengebom gedung al-Jalaa yang menjadi markas kantor media internasional di Jalur Gaza, Sabtu (15/5) waktu setempat. Gedung setinggi 11 lantai itu ditempati Al Jazeera dan Associated Press. Belum diketahui apakah ada korban jiwa atau tidak akibat ledakan bom tersebut. Meski demikian, gedung yang juga menjadi kantor media lokal lainnya itu hancur dan rata dengan tanah. Puing-puing reruntuhan gedung pun ada yang beterbangan seperti debu di udara.

Kantor media Az Jazeera menyerukan semua media dan lembaga HAM di dunia untuk bergabung dan mengutuk keras aksi pengeboman gedung Al-Jalaa yang dilakukan tentara Israel. Pihak Al Jazeera menganggap tindakan Israel tak lain untuk menghentikan kegiatan para jurnalis yang sedang melakukan tugas mulia dalam melaporkan informasi dan peristiwa yang terjadi di lapangan. Al Jazeera berjanji akan menempuh berbagai jalur agar pemerintah Israel bertanggung jawab atas pengeboman tersebut.

President and CEO Associated Press, Gary Pruitt sangat terkejut atas serangan bom melalui udara yang dilakukan Israel. “Ini sangat mengganggu pembangunan. Kami menghindari kerugian yang mengerikan dalam kehidupan. Dunia tahu tentang apa yang terjadi hari ini di Gaza,” ujar Pruitt, dilansir Al Jazeera.

Sementara, pihak Israel mengklaim aksi pengeboman dilakukan bukan tanpa alasan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, bangunan itu digunakan oleh intelijen militer Hamas. “Itu bukan sebuah bangunan tak berdosa,”  kata Netanyahu.

Netanyahu menambahkan, Israel secara rutin memantau keberadaan Hamas. Hal itu menjadi salah satu penentu gedung tersebut sebagai target pengeboman oleh militer Israel. Pihaknya juga menduga kelompok Hamas menggunakan jurnalis sebagai perisai manusia.  “Bangunan tersebut juga menjadi kantor media lokal, di mana kelompok Hamas bersembunyi di belakangnya dan menggunakan jurnalis seperti  perisai manusia,” ujarnya dilansir Associated Press.

Let. Co. Jonathan Conricus, juru bicara militer Israel  mengatakan, menolak memberikan bukti yang mendukung klaim tentara Israel. Alasannya, upaya itu dapat membahayakan hasil pengamatan intelijen militernya. “Saya pikir itu permintaan resmi  untuk mengetahui informasi lebih lanjut. Militer punya dua komitmen terhadap jurnalis, yakni keselamatan dan kebebasan mereka bekerja,” ujarnya

Reporter Al Jazeera,  Safwat al-Kahlout mengatakan, dirinya telah bekerja di gedung tersebut selama lebih dari sepuluh tahun. Kini dia kehilangan segala kenangannya.  “Saya telah bekerja di kantor itu lebih dari 10 tahun. Saya tidak akan pernah melupakannya,” ujar al-Kahlout.

Safwat al-Kahlout mengaku sering menanyakan kepada rekan kerjanya, apakah mereka pernah melihat unsur militer yang mencurigakan. “Mereka semua menyatakan tidak pernah melihat aspek militer (intelijen Hamas) yang keluar masuk gedung,” jelasnya.

Dia menambahkan, mulanya seorang menerima telepon berisi peringatan dari tentara Israel agar seluruh penghuni gedung menghindar sebelum serangan datang sekitar satu jam. Al-Kahlout mengatakan, seseorang menyerukan agar dirinya dan koleganya yang berada di gedung saat itu untuk keluar. “Kami menarik semua barang yang bisa kami bawa. Baik barang pribadi maupun peralatan kantor, terutama kamera,” jelasnya.

Joel Simon, direktur eksekutif Komite Perlindungan Wartawan (Committee to Protect Journalists) mengatakan, serangan yang dilakukan militer Israel menjadi pekerjaan rumah dan menimbulkan kekhawatiran bahwa media sedang menjadi target. “Serangan ini dapat mengganggu dan menambah penderitaan manusia di Jalur Gaza. Tanyakan lebih rinci dan dokumentasikan terkait klaim pembenaran Israel atas serangan itu,” desaknya.

Diketahui, setidaknya dalam pekan ini ada 140 orang tewas di Jalur Gaza, termasuk 22 perempuan dan 39 anak,  selama pengeboman yang dilakukan Israel sejak Senin lalu. Sabtu ini, serangan udara di Gaza menewaskan 2 wanita dan 8 anak dalam satu keluarga. Sementara di Israel, sedikitnya 9 orang tewas akibat roket yang diluncurkan Hamas.(aljazeera/ap/kbs)