Berkaca dari Sepinya Lomba Bidar, Pentahelix Keroyokan “Menjual” Wisata Budaya

PALEMBANG, SIMBUR – Kritik pedas yang dilemparkan Wali Kota Harnojoyo terkait sepinya penonton lomba bidar berprestasi saat HUT ke-1336 Kota Palembang pada 16 Juni lalu sepertinya menjadi tamparan keras bagi Dinas Pariwisata Kota Palembang. Apalagi Kepala Dinas Ir H Isnaini Madani sempat mengemukakan bahwa lomba bidar tersebut kurang sosialisasi karena keterbatasan anggaran publikasi.
Tidak sampai di situ, Isnaini pun mulai gencar melakukan “gerilya” dan sosialisasi lomba bidar sebagai upaya mencari dukungan, dimulai saat Halalbihalal Pentahelix Pariwisata Sumatera Selatan. Kegiatan tersebut berlangsung di ALTS Hotel, Jl Rajawali, Palembang, Kamis (27/6) malam.
“Sesuai harapan pak Wali, bidar itu bukan hanya ditonton oleh orang Palembang saja tapi juga masyarakat luar. Terutama dari luar Sumsel, dari Jawa atau mana saja. Kami harapkan juga yang ikut bidar dan penontonnya itu dari negara lain, negara tetangga, seperti Cina, India, Kamboja, Malaka, dan negara-negara yang ada hubungannya dengan Sriwijaya,” ungkap Isnaini kepada Simbur.
Menurut Isnaini, Dinas Pariwisata Kota Palembang akan merangkul semua pihak terkait agar lomba bidar pada masa mendatang lebih ramai dan spektakuler. “Nanti konsepnya perlu dimatangkan. Paling tidak tahun depan bisa dilaksanakan,” harapnya namun belum bisa menjawab upaya pelestarian bidar sebagai warisan budaya Indonesia tak benda. “Akan kami koordinasikan dengan Dinas Kebudayaan,” terangnya.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan bidar sebagai salah satu dari 150 karya warisan budaya tak benda Indonesia berupa adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Penetapan warisan budaya tak benda itu merujuk Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage tahun 2003 yang sudah disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78/2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage.
Dilansir portal resmi Kemendikbud, untuk menjaga keamanan wilayah masa lalu, diperlukan sebuah perahu cepat. Kesultanan Palembang kemudian membentuk patroli sungai dengan menggunakan perahu. Saat itu perahu berpatroli disebut pancalang, berasal dari pancal dan lang/ilang. Pancal berarti lepas, landas dan lang/ilang berarti menghilang. Dengan kata lain, pancalang berarti perahu yang cepat menghilang. Tampilan bidar kini sedikit berbeda dengan masa Kesultanan Palembang.
Ada dua jenis bidar yang kini dikenal. Pertama, bidar berprestasi, memiliki panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm dan lebar 1,2 meter. Jumlah pendayung 24 orang, terdiri dari 22 pendayung,1 juragan serta 1 tukang timba air. Kedua, bidar tradisional, memiliki panjang 29 meter, tinggi 80 cm serta lebar 1,5 meter. Jumlah pendayung 57 orang, terdiri dari 55 pendayung, 1 juragan perahu serta 1 tukang timba air.
Menyikapi keluhan Dinas Pariwisata Kota Palembang yang berlarut-larut, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumsel, Herlan Asfiudin berjanji akan mendukung dengan melibatkan semua unsur pentahelix dalam “menjual” lomba bidar sebagai bagian dari promosi pariwisata di kota ini. “Nanti kami ajak pengusaha untuk ikut sebagai peserta dan sponsor. Kami keroyokan. Kami koordinasi lebih intens dengan dinas, juga melibatkan industri. Kapan-kapan kami adakan juga pertemuan khusus dengan media,” ungkap Herlan, dikonfirmasi Simbur usai halalbihalal.
Staf Ahli Khusus Wali Kota Palembang Bidang Pariwisata, Investasi, dan Ekonomi Kreatif itu berharap agar semua unsur pentahelix pariwisata Sumsel kompak dan saling mendukung. “Diharapkan semua unsur pentahelix semakin kompak, baik akademisi, bisnis, komunitas, pemerintahan maupun media. Baru membangun konsep yang bagus. Kalau tidak kompak, jalan sendiri-sendiri, itu nonsense,” tegasnya.(maz)