- Pangdam II/Sriwijaya Ikuti Rakor Virtual Tingkat Menteri soal Peluncuran Desk Koordinasi Penanganan Karhutla dan Perlindungan PMI-TPPO
- Perkuat Keamanan dan Pembinaan, Kodim 0415/Jambi Jalin Sinergi dengan Lapas Kelas IIB Muara Bulian
- Petik Berkah Ramadan, Korem 043/Gatam Berbagi Takjil Gratis untuk Masyarakat
- Cuaca Ekstrem Berpotensi Bencana, Sumsel Dilanda Hujan Deras hingga Jelang Lebaran
- Jaksa KPK Ragukan Keterangan Berbeda dari Terdakwa Kontraktor
Virus Corona Ancam Kesehatan Finansial
Corona bukan hanya menjadi virus mematikan yang mengancam masyarakat dunia. Ternyata 60 persen penduduk Asia mencemaskan dampak COVID-19 terhadap kesehatan finansialnya. Selain itu, 48 persen penduduk Asia sangat mengkhawatirkan imbas dari virus tersebut. Masyarakat beralih ke belanja online dan menghindari bepergian demi mengurangi risiko terjangkit Corona.
SINGAPURA, SIMBUR – Meski kasus COVID-19 kian merebak di Asia, kekhawatiran terbesar masyarakat bukanlah kesehatan fisiknya. Akan tetapi, ancaman virus tersebut terhadap kesehatan finansial mereka. Hal ini terungkap dalam studi yang baru saja dirilis Kantar, perusahaan konsultan, data, dan wawasan terkemuka di dunia.
Studi didasarkan pada survei daring yang melibatkan 3.000 konsumen berusia 18-60 tahun di enam negara di Asia: Singapura, Indonesia, Filipina, Korea, Jepang, dan Thailand. Studi lapangan dilakukan antara 25-27 Februari 2020. Sementara, data panelis dan analisis media sosial dijalankan antara 18 Desember-27 Februari 2020 untuk melengkapi survei tersebut.
Diketahui, pasar keuangan dunia mengalami penurunan yang mungkin dianggap sebagai kinerja terburuk sejak Krisis Finansial Global. Sejalan dengan tren ini, sebanyak 60 persen penduduk Asia mencemaskan kesehatan keuangannya. Sementara, 46 persen di antaranya khawatir terkena COVID-19. Kekhawatiran terbesar ditunjukkan Jepang (68 persen). Lebih dari sepertiga warga Asia (34 persen) mencemaskan COVID-19 yang bisa mengakibatkan resesi ekonomi. Warga Korea paling khawatir dengan kesehatan keuangannya (77 persen) dan potensi kehilangan pekerjaan (61 persen).
Adrian Gonzalez, CEO, Kantar, Asia Timur Laut, Asia Tenggara dan Pasifik mengatakan, ketika virus korona kian marak dan terus menyebar ke seluruh dunia, pihaknya memperlihatkan sejauh apa dampaknya terhadap keseharian masyarakat. Wajar merasa khawatir dan berbuat sebaik mungkin agar selamat.
“Banyak orang mengubah aktivitas dan barang-barang yang dibeli, sementara, beberapa di antaranya mengaku telah membeli barang-barang karena panik. Namun, hal yang paling dikhawatirkan masyarakat ialah dampak COVID-19 terhadap kesehatan keuangan mereka, sebab virus tersebut bisa memiliki dampak negatif yang lebih lama,” ungkapnya dilansir PR Newswire Asia
Risiko ini, lanjut dia, menjadi permasalahan baru sejalan dengan pilihan masyarakat yang terus berubah setelah wabah penyakit tersebut berakhir. Cara menangani perubahan ini berkutat pada isu kepercayaan. Misalnya, Singapura tengah menerapkan tingkat kewaspadaan yang tinggi dengan ‘Level Jingga’.
“Namun, kekhawatiran warga Singapura termasuk rendah karena mereka menaruh kepercayaan terhadap penanganan krisis yang dijalankan pemerintahnya. Konsumen juga bersikap serupa, yakni dengan mengutamakan tingkat kepercayaan terhadap sejumlah merek dan rantai pasokan saat mengambil keputusan dalam membeli barang,” terangnya.
Stéphane Alpern, Managing Partner, Asia Tenggara, Kantar Consulting menambahkan, masyarakat tidak mengharapkan merek-merek untuk menyelamatkan dunia, namun menginginkan sejumlah merek memberikan nilai tambah yang riil, bertindak dengan penuh tanggung jawab, serta melakukan hal positif bagi komunitas, termasuk para pegawainya. “UOB di Singapura mengalokasikan SGD$ 3 miliar untuk unit-unit usaha lokalnya dan sejumlah klien dari kalangan UKM yang terimbas COVID-19. Sementara, Grab menawarkan layanan 24 jam bagi petugas medis yang ingin pulang kerja. Dengan menangani beberapa kendala yang bisa diatasinya, merek-merek ini mengambil tindakan yang sangat positif,” terangnya.
Sehubungan dengan itu, hampir setengah (48 persen) konsumen di Asia “sangat khawatir” dengan imbas COVID-19 terhadap rutinitas harian mereka. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat warga yang tinggal di negara-negara dengan jumlah kasus COVID-10 terbanyak merasa paling cemas terhadap virus ini. Sedangkan, 75 persen warga Korea dan 60 persen warga Jepang merasa khawatir, dan menilai kehidupannya telah terganggu. Tingkat kepercayaan terhadap cara pemerintah menangani krisis sangat rendah di Korea (39 persen) dan Jepang (9 persen). Di Singapura, hanya 33 persen warganya yang merasa khawatir. Sekitar 78 persen di antaranya berkata bahwa mereka menaruh kepercayaan terhadap langkah pemerintahnya untuk mengatasi krisis tersebut.
Lebih lagi, analisis Kantar mencakup perkembangan lebih dari 100 harga saham emiten barang-barang konsumsi di Asia. Analisis atas harga-harga saham tersebut menunjukkan, hanya beberapa perusahaan yang mampu meningkatkan valuasinya sejak COVID-19 mulai menyebarkan ketidakpastian di Asia. Kalangan konsumen dan pelaku pasar menyadari ancaman virus ini terhadap perekonomian, seperti yang ditunjukkan kinerja pasar saham global termasuk Asia yang anjlok drastis dalam beberapa hari terakhir.
Studi ini memperlihatkan cara masyarakat dalam menyesuaikan gaya hidupnya demi mengurangi risiko COVID-19. Industri dengan imbas terbesar dari wabah penyakit tersebut ialah pariwisata. Sebanyak 59 persen responden memutuskan untuk mengurangi liburan. Tren ini diikuti 52 persen responden yang berkata bahwa mereka kemungkinan mengurangi makan di restoran, serta jumlah serupa (52 persen) menyatakan akan menghindari bersosialisasi di luar rumah. Sebaliknya, masyarakat memilih tinggal di rumah, dan 42 persen responden lebih sering menikmati konten streaming, sedangkan, 33 persen
di antaranya berkumpul di rumah, dan 30 persen responden memesan makanan.
Perubahan perilaku konsumen ini sejalan dengan besarnya ancaman COVID-19. Tren yang paling terlihat ialah tingginya “pembelian yang didorong kepanikan” (panic purchase) di banyak negara. Sekitar satu dari tiga responden (30 persen) khawatir kehabisan barang-barang kebutuhan dan membelinya dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya. Akibatnya, stok barang-barang menjadi kosong. Tren ini paling terlihat di Jepang, dan 64 persen responden di negara tersebut membenarkan terjadinya perilaku yang demikian.
Studi ini juga mengungkapkan peningkatan sebesar 32 persen dalam aktivitas belanja daring di negara-negara tersebut selama dua bulan terakhir, sebab masyarakat menghindari pasar swalayan yang ramai atau memanfaatkan kanal-kanal ecommerce untuk membeli barang-barang yang stoknya habis di gerai-gerai fisik. Peningkatan belanja daring yang terbesar terjadi di Korea (41 persen). Sementara, platform daring untuk membeli barang-barang kebutuhan harian dan layanan pengantaran makanan mengalami lonjakan tertinggi. Tren tersebut membuat banyak penyedia jasa menyesuaikan strateginya demi memenuhi permintaan. Sebaliknya, kegiatan belanja di gerai-gerai ritel telah berkurang sebesar 35 persen pada periode serupa.
Seperti yang diperkirakan, sejumlah kategori produk yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan paling banyak dibeli konsumen. Sebanyak 48 persen responden lebih banyak membeli produk-produk kebersihan tubuh, seperti masker pelindung dan cairan pembersih tangan, sementara, 45 persen responden lebih banyak membeli produk-produk kesehatan dan nutrisi seperti vitamin untuk meningkatkan kekebalan tubuh, dan 40 persen responden lebih banyak membeli produk pembersih rumah. Di sisi lain, masyarakat mengurangi belanja minuman keras (30 persen), sebuah tren yang juga terjadi saat wabah SARS merebak. Di samping itu, lebih sedikit orang yang membeli barang-barang mewah (27 persen), serta daging dan makanan laut (21 persen).
Studi ini mencermati bagaimana COVID-19 dapat mendorong konsumen untuk lebih mengutamakan sejumlah produk dan layanan yang “aman digunakan”, khususnya dalam kategori makanan dan minuman, serta barang-barang konsumsi. Lebih lagi, konsumen mencari merek-merek yang dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran agar mereka terlindung dari virus. Ada pula permintaan terhadap sektor asuransi untuk menciptakan lebih banyak produk yang melindungi kesehatan dan kebugaran nasabah selama krisis berlangsung.
Studi ini mencermati bagaimana COVID-19 dapat mendorong konsumen untuk lebih mengutamakan sejumlah produk dan layanan yang “aman digunakan”, khususnya dalam kategori makanan dan minuman, serta barang-barang konsumsi. Lebih lagi, konsumen mencari merek-merek yang dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran agar mereka terlindung dari virus. Ada pula permintaan terhadap sektor asuransi untuk menciptakan lebih banyak produk yang melindungi kesehatan dan kebugaran nasabah selama krisis berlangsung. (kbs/prn)