Peran Kolektor Hanya Menghambat Benda Pusaka Nusantara Keluar dari Indonesia

# Melihat dari Dekat Aktivitas Komunitas Keris dan Benda Pusaka di Palembang

 

PALEMBANG, SIMBUR – Salah satu peran kolektor hanya menghambat benda-benda pusaka sebagai warisan budaya Nusantara keluar dari Indonesia. Hal itu diungkap Fajar Setia (59), kolektor keris di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.

“Sebenarnya pusaka itu bagus dan indah. Mereka (orang luar/warga negara lain) tertarik dengan batik apalagi keris, karena baja yang dibatik. Kolektor hanya penghambat agar pusaka tidak keluar. Agar kolektor dapat bertahan, maka harus didukung pemerintah sehingga pusaka disenangi dan dicintai masyarakat. Dengan begitu, pusaka tidak keluar dari Nusantara. Tetap jadi sejarah dan warisan budaya Indonesia,” ungkap Fajar kepada Simbur Senin (24/7).

Ditanya dukungan pemerintah daerah, Fajar menyebut masih sangat minim. “Umumnya. Di Palembang kurang dukungan dari pemerintah. Songket saja hanya jadi barang suvenir apalagi keris. Padahal pusaka itu menjadi suatu simbol status sosial di masyarakat,” kata pensiunan PJKA ini.

Diterangkan Fajar, dukungan pemerintah terpenting dalam bentuk sosialisasi agar benda pusaka dicintai masyarakatnya. “Kalau tidak disukai bagaimana mencintai. Kalau suka, ya disimpan. Kami sebagai kolektor punya pengharapan pelestarian. Negara lain justru kuat sekali menjaga pusaka. Seperti di Beijing Tiongkok ada forbiden city, di mana benda bersejarah dan peninggalan budaya tidak boleh dibawa keluar negara mereka,” ujarnya.

Fajar pun meluruskan persepsi masyarakat selama ini. Menurut dia, keris dan benda pusaka lainnya tidak harus dikaitkan dengan klenik atau mistis. Dia berpendapat bahwa keris merupakan salah satu pusaka Nusantara dan warisan budaya Indonesia yang mendunia. “Yang salah persepsi itu pusaka diidentikkan dengan hal mistis. Justru pusaka Nusantara punya seni budaya yang tinggi dan mendunia,” ungkap pegiat komunitas Palembang Pusaka Bahari ini.

Fajar menjelaskan, pusaka sebetulnya terdiri dari berbagai bentuk, seperti keris, badik, tombak dan pedang. Zaman dahulu, kata dia, pusaka itu digunakan untuk membela diri di rumah tangga. “Sekaligus menunjukkan orang yang punya ekonomi bagus di masyarakat. Tidak semua orang punya senjata masa itu,” terangnya.

Dirinya mengaku tertarik mengoleksi keris sejak masih kecil. “Dulu di rumah kakek saya di Minanga Komering saat masih kecil usia 6 tahun. Saya melihat ada sebilah keris di atas pintu. Lama-lama tertarik. Sekarang saya kumpulkan keris satu per satu,” ujarnya.

Setelah diskusi dengan teman-teman dari Jawa, tambah dia, ternyata besi keris ada pamornya berupa pengharapan nenek moyang zaman dahulu. “Nenek moyang kita menerapkan doa pada pusaka. Itu kan kepercayaan zaman dulu. Tapi kita perlu belajar budaya saja dari situ,” imbuhnya.

Sebagai kolektor, Fajar melihat keris bermacam-macam. Ada keris biasa dan yang bagus. “Di sini kami melihat nenek moyang bisa membuat pusaka dari emas,” ungkapnya.

Dia berharap agar benda pusaka dilestarikan dan disosialisasikan kepada generasi penerus bangsa. “Dari segi sejarah agar anak cucu tahu kapan negara kita dibuat. Dahulu ada Kerajaan Singosari, Majapahit. Di Palembang ada Sriwijaya. Ada juga Kesultanan Palembang,” ujarnya.

Hingga kini, lanjut Fajar, dirinya sudah mengoleksi ratusan keris.”Saya koleksi paling ada 200 keris. Ada dari zaman Singosari. Ada keris zaman Majapahit. Ada juga Kesultanan Palembang. Keris Jalak Buddha Sriwijaya saya tidak punya,” imbuhnya.

Cerita tentang keris, kata dia, banyak versi dan selalu membahana. Setelah dilihat ternyata ada juga keris bukan pusaka. “Umurnya bisa kelihatan. Kainnya bisa dilihat. Luk biasanya ganjil. Luk lurus misalnya, menandakan pembuatnya mengharapkan jalan hidup yang lurus,” urainya seraya menambahkan, banyak yang mencari mengoleksi dan memasarkan keris. “Menjual sulit juga karena peminatnya kurang. Kalau di Jawa peminatnya banyak,” ujarnya.

Fajar kerap mengikuti pameran benda pusaka. Sebetulnya komunitas perkerisan hanya mengikuti. Kebetulan di Palembang digelar pameran senjata pusaka Nusantara yang diikuti 34 provinsi di Indonesia. “Saya sebagai komunitas ikut karena diberi kesempatan. Saya akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya,” tutupnya.(maz)