- Terdakwa Korupsi Dana Korpri Banyuasin Divonis Lebih Tinggi dari Tuntutan, Kuasa Hukum Ajukan Banding
- Vonis Hakim Menuai Kecaman, Muncul Wacana Revisi UU Perlindungan Anak
- Aset Hasil Cuci Uang Puluhan Miliar Disita dari Gembong Narkoba Internasional di Palembang
- Ciptakan Situasi Kondusif di Sumsel Jelang Pilkada Serentak 2024
- Empat Korban Tewas akibat Banjir dan Longsor di Aceh Masih Satu Keluarga
Fenomena Fatherless, Kehidupan Anak Tanpa Peran Ayah dalam Pentas Drama Mahasiswa Universitas Bina Darma
Generasi tanpa ayah (fatherless) bukanlah babak baru dalam lakon kehidupan masyarakat. Figur seorang ayah menjadi sangat penting dalam tumbuh kembang anak pada sebuah keluarga. Banyak anak yang kehilangan peran ayah akibat perceraian dan/atau konflik berumah tangga sehingga berdampak pada permasalahan sosial. Banyak pula anak yang hidup tanpa ayah mampu meraih kesuksesan. Berikut fenomena fatherlees dalam pementasan drama/teater yang dipentaskan mahasiswa Universitas Bina Darma Palembang.
FENOMENA fatherless dialami tokoh Gunarto dalam naskah drama Ayahku Pulang karya Usmar Ismail. Gunarto sangat membenci ayahnya Raden Saleh karena telah lama pergi meninggalkan keluarga. Dia bersama ibunya Tina dan kedua adiknya Maemun dan Mintarsih.
Lakon Ayahku Pulang dipentaskan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Sosial Humaniora Universitas Bina Darma Palembang. Pementasan drama berlangsung Kamis (26/1/2023) di Aula Bochari Rachman Kampus Utama Universitas Bina Darma, Jl Ahmad Yani No 3, Palembang.
Dekan Fakultas Sosial Humaniora Universitas Bina Darma, Nuzsep Almigo SPsi MSi PhD menjelaskan, salah satu kegiatan kampus selain akademik adalah aktivitas. Karena itu, dia berharap mahasiswa aktif. Bukan hanya di bangku kuliah tapi juga mengaplikasikan ilmunya. “Mereka bisa improvisasi diri. Yang paling penting bisa menyalurkan keinginan, bersosialisasi, mengatur strategi dan berperan dengan teman-temannya,” ujarnya.
Secara pribadi maupun sebagai dekan Fakultas Sosial Humaniora (FSH), kata Nuzsep, pementasan drama ini sangat bagus karena mahasiswa dididik kreatif dan juga bisa meluangkan atau menerapkan ilmu di luar bidangnya.
“Saya lebih melihat mereka (mahasiswa), beranjak dari unsur ketidaknyamanan kepada suatu yang menarik. Dengan rutinitas perkuliahan hingga melakukan aktivitas teater. Ini merupakan ajang improvisasi diri mereka. Termasuk mementaskan tujuan sosial kemasyarakatan. Karena isu sosial kemasyarakatan tidak hanya disampaikan melalui tulisan tapi juga bisa melalui visualisasi. Oleh sebab itu, pementasan sini drama ini sangat bagus. Bila perlu digalakkan lagi,” imbuhnya.
Kalau boleh, kata dia lagi, nanti dapat diwujudkan terbentuknya himpunan drama atau teater apa pun namanya yang bisa mengangkat isu global maupun hal bersifat sosial. Karena ini penting, mahasiswa bagian dari masyarakat. “Univerisitas tempat mereka menimba ilmu dan masyarakat tempat mereka kembali. Saya dengan bangga anak Bahasa Indonesia dengan kegiatan ini sangat antusias. Bisa dinaikkan levelnya menjadi lebih tinggi lagi.
Pada pementasan teater berdurasi sekitar 90 menit, panggung disetting naturalis. Ukuran prosenium yang kurang memadai dengan lighting dan musik lakon jauh dari estetis membuat blocking dan grouping pemain sangat terbatas. Meski demikian, kekuatan akting pemeran tokoh Tina mampu merebut tugas pemeran utama yang seharusnya dilakonkan sosok Gunarto.
Kisah bermula Tina (diperankan Iluh Eka Yuliani) merindukan suaminya Raden Saleh (M Fachriansyah) yang telah lama pergi saat hari raya. Sama seperti lebaran sekarang. Suaminya pergi tanpa sepatah kata lalu menikah bersama janda kaya.
Kondisi Tina mengingat suaminya mendapat tantangan keras dari anak laki-laki sulungnya bernama Gunarto (M Fachmier Yulian). Gunarto sejak kecil merasakan penderitaan karena ditinggalkan ayah. Gunarto merasa besar sendiri tanpa bimbingan ayahnya. Karena itu Gunarto selalu mengalihkan pembicaraan ketika adik-adiknya Maemun (M Daffa Alfaridzi) dan Mintarsih (Yusroini) memperbincangkan sang ayah Raden Saleh.
Perdebatan semakin seru setelah adiknya Maemun mendengar kabar. Ada seorang tua yang konon mirip ayahnya. Tina merasa yakin mungkin benar juga ia kembali. Meski demikian, Gunarto merasa tidak percaya. Perang mulut tentang keberadaan Raden Saleh semakin seru setelah adik mereka yang perempuan bernama Mintarsih pulang lalu menceritakan ada orang tua seperti pengemis yang memandangi rumah mereka.
Gunarto dan Maemun tak percaya. Keduanya ingin membuktikan ucapan Mintarsih, namun tak mendapatkan apa-apa. Tina yakin bahwa itu mungkin suaminya yang lama telah pergi di malam hari raya seperti ini. Ternyata suaminya Raden Saleh pulang dengan penampilan seperti pengemis. Tidak seperti dulu dia kaya raya. Tina kaget hampir tak percaya namun senang. Tina menyuruh Saleh masuk dan meminta anak-anaknya mendekat.
Gunarto sendiri yang acuh. Kebencian kepada ayahnya yang lama dipendam dilampiaskan. Pelampiasan kemarahan memuncak dengan menghina orang tuanya sendiri. Melihat kenyataan itu Raden Saleh pergi karena tak tahan mendengar hinaan.
Maemun berusaha mengejar ayahnya namun terlambat. Ternyata ayahnya telah pulang untuk selama-lamanya menghadap Sang Pencipta. Raden Saleh hanya meninggalkan kopiah dan baju saja. Gunarto sadar dirinya menjadi penyebab ayahnya bunuh diri terjun ke sungai. Dia pun menyesali apa yang telah ia lakukan kepada ayah kandungnya sendiri.
Berdasarkan teori Psikologi Kognitif, fatherless dikemukakan Edward Elmer Smith, seorang psikolog asal Amerika Serikat. Fatherless merupakan ketiadaan peran ayah dalam perkembangan seorang anak. Ketiadaan peran ini dapat berupa ketidakhadiran, baik secara fisik maupun psikologis dalam kehidupan anak.
Terkait itu, Nuzsep menjelaskan, fatherless atau modelling itu individu anak mencari salah satu sosok yang lebih dekat untuk menjadi contohnya. “Apabila dalam keluarga ada salah satu sosok yang hilang maka muncullah peran ganda,” ungkapnya kepada Simbur.
Nuzsep berpesan kepada para orang tua, pemahaman terhadap anak-anak perlu digalakkan. Kerja sama antara ayah dan ibu sangat penting. “Ini salah satu proses komunikasi untuk tumbuh kembang anak. Terutama bagi anak di bawah umur 10 tahun. Karena anak perlu sosok modelling dan berperan sebagai apa sehingga tidak memunculkan peran ganda yang bersifat negatif dan menjadi dampak sosial di masyarakat,” terangnya.(maz)