Empat Tahun Dilatih Mengasuh Pohon Mangrove, “Ucok Sungai Batang” Ingin Jadi Pengusaha

# Melihat dari Dekat Ekosistem Hutan Bakau yang Masih Perawan

 

Meski masih lajang dan belum berkeluarga, hampir empat tahun remaja itu dikader menjadi calon orang tua asuh pohon mangrove di kawasan pesisir timur Sumatera Selatan. Lokasi tempatnya belajar bekerja sangat jauh dari keramaian, tempat hiburan, dan pusat perbelanjaan. Di sana dia berusaha mencuci nasib. Setiap hari berlatih mengasuh pohon bakau di lahan kosong yang telah direhabilitasi oleh para relawan.

TANJUNG TAPA, SIMBUR – Namanya Pancar Abadi (18). Perawakan tubuhnya kecil dengan kulit sawo matang dan berambut ikal. Remaja laki-laki yang mengenakan baju bergaris merah dengan kalung di lehernya itu biasa disapa Ucok. Mengapa dipanggil Ucok? Karena ayahnya yang bekerja sebagai nelayan berasal dari Medan, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, sang ibu berasal dari Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin (Sumsel).

Keluarga Ucok tinggal di Desa Sungai Batang, berbatasan dengan tempat kerjanya di kawasan Tanjung Tapa, Desa Simpang Tiga Sakti, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Lama sudah Ucok putus studi. Tidak sampai tamat sekolah dasar (SD).

Ucok dua bersaudara. Bersama adiknya yang masih kecil dulu dia pernah tinggal bersama bibi dan pamannya di Kertapati, 4 Ulu, Kota Palembang. “Cita-citaku mau jadi pengusaha,” jawab Ucok belum lama ini.

Mencari apalagi mendapatkan pekerjaan di kota tidak mudah. Terlebih Ucok putus sekolah. Tidak ada biaya melanjutkan pendidikan. Daripada menganggur, dia lebih memilih bekerja lepas untuk membantu keluarga. “Di sini upahku Rp3 juta per bulan. Tidak ikut menanam, hanya merawat (mangrove),” kata Ucok menambahkan.

Saat musim tanam berapa waktu lalu, lanjut Ucok, banyak yang bekerja di sini. Hampir sebagian besar pekerja berasal dari Banyuasin. Ucok hanya membantu sekaligus dilatih dan dikader menjadi pengasuh mangrove. “Sempat ramai, tapi sekarang (para pekerja) sudah pulang ke daerahnya di Banyuasin,” jelasnya.

Kawasan ini, kata Ucok, banyak lahan kosong akibat kebakaran hutan. Mulai tahun ini seluas 61 hektare yang ditanami mangrove. Majikan sekaligus mentor Ucok bernama Arahman yang mengelola proyek pekerjaan rehabilitasi ini. Kata Ucok, orang tua asuh mangrove yang terbilang senior itu pernah menjadi Kepala Desa Sungai Batang selama dua periode.

Dia mengatakan, lahan 61 hektare dibagi menjadi 16 petak dengan jumlah bibit 53.550 batang mangrove. Ada 16 petak. Masing-masing petak 4 hektare. Disiapkan 100.000 bibit tapi penanaman di lokasi 53.550 bibit. Sekitar 825 batang per hektare dikali 61 hektare plus 3.225 bibit agar lebih rapat.

Tiga tahun lalu (2019-2022), sambung Ucok, sudah berpengalanan ikut berlatih penanaman mangrove di lahan seluas 67 hektare. Ada16 petak. Dalam 1 petak luasnya 4 hektare dengan kelebihan 3 hektare. Total luasnya 67 hektare. Dalam 1 hektare ada 1.650 batang jadi totalnya 120.000 batang. Sekarang tinggi mangrove yang ditanam lebih dari 3 meter.

Ucok menunjukkan buah di pohon mangrove namun dia tidak tahu dan belum bisa menjelaskan lebih rinci. Warga biasa menyebutnya buah “nyiri”. Hasil penelusuran dari aplikasi android setelah objek benda itu dipotret dengan ponsel cerdas, muncul referensi sehingga menambah pengetahuan Ucok sebagai pengasuh pohon mangrove.

Diketahui, salah satu pohon bakau yang tumbuh di hutan mangrove itu ternyata dikenal dengan nama Xylocarpus (Xylocarpus granatum J Koenig). Tumbuhan ini termasuk genus dalam keluarga mahoni.Tumbuh di sepanjang pinggiran sungai pasang surut, pinggir daratan dari mangrove, dan lingkungan payau.

Tumbuhan ini mencakup dua atau tiga spesies bakau, asli dari hutan bakau pantai di Indo-Pasifik Barat dan Tengah, dari Afrika timur hingga Tonga. Xylocarpus adalah satu-satunya genus bakau dalam famili Meliaceae. Bentuk Xylocarpus seperti bola. Beratnya bisa 1-2 kg. Kulitnya warna hijau kecokelatan.

Buah berdiameter 10-20 cm. Buah ini bergelantungan pada dahan yang dekat permukaan tanah dan sedikit tersembunyi. Dalam buah terdapat 6-16 biji besar-besar dan berkayu. Susunan biji di dalam buah ini seperti puzzle. Buah ini akan pecah saat kering.

Bunganya terdiri dari tandan dengan panjang 2-7 cm dan 4 mahkota daun lonjong, tepinya bundar, putih kehijauan, panjang 5-7 mm. Kelopak bunga 4 cuping berwarna kuning muda dan panjang 3 mm. Daunnya agak tebal, berbentuk elips dan berpasangan. Ada pula yang sendirian.

Pohon Xylocarpus dapat mencapai ketinggian 10-20 m. Memiliki akar papan yang melebar ke samping, meliuk-liuk dan membentuk celah. Batang seringkali berlubang, khususnya pada pohon yang lebih tua. Kulit kayu berwarna coklat muda-kekuningan, tipis dan mengelupas, sementara pada cabang yang muda, kulit kayu berkeriput.

Tumbuh di sepanjang pinggiran sungai pasang surut, pinggir daratan dari mangrove, dan lingkungan payau. Di Indonesia tersebar di Jawa, Madura, Bali, Kepulauan Karimu Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Sumba, serta Irian Jaya.

Tanaman ini biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan perahu karena ukurannya kecil. Kulit kayu dikumpulkan karena kandungan taninnya yang tinggi. Tanin ini biasa digunakan sebagai pengawet jaring, lem, dan bahan pewarna kain.

Jenis mangrove ini juga memiliki kegunaan lain. Biji yang terdapat di dalam buah mangrove mengandung antioksidan dan bahan aktif untuk melindungi kulit dari sengatan sinar ultraviolet. Kandungan flavonoid dan tanin mampu mencegah terjadinya kanker kulit akibat sering terpapar sinar matahari.

Pemanfaatan biji mangrove untuk tabir surya sudah dilakukan bertahun-tahun masyarakat di Bugis, Sulawesi Selatan. Masyarakat Ternate memanfaatkan biji mangrove dijadikan ekstrak untuk mencegah kanker rahim.

Sementara itu, selain merawat mangrove, di sela waktu istirahat Ucok suka menangkap ikan dan mencari kepiting bakau. Ikan kakap putih (baramundi) selalu menjadi buruan saat air payau surut. Warga dari desa lain juga sering datang berperahu melewati kanal untuk menangkap kepiting bersamanya. Selain untuk dikonsumsi karena kadar gizinya tinggi, hasil tangkapan ikan dan kepiting juga dijual ke kota. Harganya cukup mahal.

Dua minggu atau paling tidak sebulan sekali Ucok pergi ke kota. Bukan menjual ikan dan kepiting. Kadang dia merasa perlu penyegaran dan cuci mata. Sekaligus mencari buah tangan untuk melirik kembang desa pujaan hati. Tidak ada kendala transportasi asal ada uang. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengerek tarif moda angkutan transportasi air, khususnya speedboat di Sungai Musi bukan masalah bagi petani dan nelayan di kawasan ini.

Sempat ditanyakannya kepada serang (pengemudi) speedboat dengan trayek dermaga Palembang dan Sungai Baung (Kabupaten OKI). Serang tersebut mengatakan, ongkos speedboat terpaksa naik karena kebutuhan BBM yang sangat tinggi. Kata serang, kalau mesin dua minimal 400 liter (pulang-pergi). Tarif penumpang umum naik juga ongkosnya.

Diterangkan, kini ongkos speedboat Palembang-Sungai Baung jadi Rp130 ribu dari sebelumnya Rp100 ribu hingga Rp120 ribu. Sekarang satu orang Rp130 ribu. Kalau speed(boat) standar muatan tidak banyak, paling 30-35 penumpang.

Dengan sendirinya Ucok menyadari. Bila sering bolak-balik ke Kota Palembang tanpa tujuan dan hasil yang jelas, lebih baik uangnya dia simpan untuk modal usaha di hari kemudian. Paling tidak untuk bekal menikah dan menempuh hidup baru setelah dia tunaikan semua tugas dan pekerjaan, mengasuh pohon mangrove.(maz)