Nia Sara, Mahasiswi Perantau yang Meneliti Berita Simbur demi Gelar Sarjana

Hidup di perantauan memang tidak mudah. Apalagi bagi mahasiswi yang sedang merampungkan skripsi atau tugas akhir. Banyak aral dan rintangan yang dihadapi terutama selama masa pandemi. Bagaimana perjuangan mahasiswi perantau yang meneliti berita Simbur menjadi skripsi sebagai syarat meraih gelar sarjana? Berikut laporan selengkapnya.

 

Dita Aprilia Zahara – Palembang

 

JAS almamater biru muda nan cerah yang menempel di baju wanita kekinian berwarna cokelat dipakai remaja putri berjilbab hitam. Nia Sara (21), begitu namanya disebut saat memperkenalkan diri sebelum diwawancarai. Bentuk muka bulat dibalut masker putih menambah keceriaan di raut wajahnya.

Nia, sapaannya, mengaku berstatus mahasiswi semester akhir pada Program Studi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang. Menurut Nia, sekarang dia tengah disibukkan untuk menghadapi ujian lima mata kuliah tingkat akhir.

Selama menunggu jadwal ujian skripsi, dia terus meneliti berita hukum dan kriminal di portal media Simbur, dalam hal ini SimburSumatera.com denganĀ  menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) teori Norman Fairclough.

“Saya meneliti berita Simbur tentang Analisis Wacana Kritis. Terkait pemberitaan hukum dan kriminal di SimburSumatera.com pada masa pandemi Covid-19,” jelas Nia Sara, dibincangi di kantor Simbur, Jl Srijaya Negara Bukit Besar Palembang, Jumat (8/4).

Saat melakukan penelitian, banyak tantangan yang harus Nia Sara hadapi. Dia mengaku belum seminggu selesai menjalani operasi daun telinga di RSUD Empat Lawang. “Akibat infeksi pemakaian anting yang sudah berkarat. Diharuskan untuk operasi karena di daun telinga saya terdapat daging tumbuh keloid. Rabu lalu saya menjalani operasi terakhir,” jelasnya.

Nia menambahkan, selama masa operasi tentu sangat menyita waktu dan aktivitasnya. Terutama untuk mencari buku referensi di perpustakaan dan/atau melakukan konsultasi dengan pembimbing skripsi. Meski demikian, Nia tak pernah menyerah dengan keadaan.

Nia coba menepis perasaan sedih selama menjadi mahasiswi perantau karena semua harus dijalaniĀ  dan dikerjakan seorang diri. “Dari situ membuat saya lebih mengenal siapa diri sendiri. Semua ini untuk membanggakan orang tua demi mendapatkan gelar sarjana,” ungkapnya dengan senyum merekah.

Baginya, perjuangan hidup sebagai mahasiswi perantau tidak mudah. Meski demikian, putri dua bersaudara dari pasangan ayah-bunda Sar Pawi dan Ratna ini tetap sabar dan ikhlas. Keluarganya tinggal di Desa Babatan Kabupaten Empat Lawang. Ayahnya berkebun dan ibunya mengurus rumah tangga. Nia memiliki satu adik laki-laki yang masih duduk di bangku SMA.

Di Palembang Nia tinggal jauh dari orang tua dan saudaranya. Di sini dia belajar hidup mandiri untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi di universitas. “Tidak mungkin harus menempuh jarak ratusan kilometer dari tempat tinggal ke universitas. Jadi mau tidak mau harus hidup di perantauan demi menyandang gelar sarjana,” imbuhnya.

Ditanya khidupan di kota rantau, Nia menjawab banyak faktor yang membuatnya harus siap mengalami berbagai hal pedih. “Kadang merasa homesick (rindu kampung halaman) karena jauh dari orang tua dan keluarga,” katanya.

Dijelaskannya, Nia pernah mengikuti organisasi di kampusnya seperti BEM. Akan tetapi, sejak adanya pandemi Covid-19 dia berhenti dan mengisi hari-harinya dengan memasak dan mencuci.

Nia harus memasak dan mencuci sendiri. Sebagai mahasiswi perantau, ia harus menjalani kehidupan tersebut. Bahkan, Nia sudah dua kali pindah indekos. Di antaranya indekos di Jl Pahlawan dan sekarang di perumahan dokter, kompleks RSMH Palembang.(*)